magang.ekspresionline.com–Pada Gedung FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan), jalur guiding block tampak terputus dan tidak merata. Menunjukkan bahwa fasilitas bagi penyandang disabilitas netra masih belum memadai. Foto oleh Nadira/Badhar
Fian, seorang insan yang memanggul kodrat sebagai seorang putra, seorang mahasiswa, dan seorang teman dari orang-orang di sekelilingnya. Teman satu kelasnya, sempat mengatakan tentang kondisi Fian yang memiliki mata yang buta sebelah. Mata kirinya tidak bisa melihat, sedangkan mata kanannya rabun jauh, minus sembilan. Ia menambahkan bahwa meski Fian menggunakan kacamata rabun jauh, penglihatannya masih kurang terlihat.
Ketika matahari akan menyelesaikan tugasnya, hari selasa, empat November tahun 2025, aku dan teman-teman sedang menjelajahi Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Langit di atas sana tertutup oleh miliaran ton awan menggantung. Angin sesekali mengayunkan sihirnya, menemani kami yang mencari kebenaran. Selangkah demi selangkah, meninggalkan jejak tak terlihat di setiap sudutnya, namun senantiasa ada, suatu saat kami akan tiba di tujuan yang pasti.
Dengan menaiki lift, kami sampai di lantai 3 dengan cepat. Setibanya di sana, aku bisa melihat bangunan tinggi di sebelah Gedung Noeng Muhajir itu. Walaupun kami sudah berada di lantai paling atas, langit di atas sana masih menjadi dunia yang tak tergapai. Sedangkan, di bawah sana, orang-orang berlalu lalang, mengerjakan urusan masing-masing. Ada yang duduk di bawah pohon, sedang berdiskusi, ada yang hanya lewat, dan keluar-masuk ruangan.
Kami kembali kepada tujuan dan alasan mengapa berada di tempat ini. Salah satu teman mengajakku masuk ke sebuah kelas. Kelas tersebut baru saja mengeluarkan sejumlah mahasiswa dan mahasiswi yang baru saja selesai menimba ilmu bersama maestro bidangnya. Di kelas itulah, kami bersua dengan teman-teman satu kelas dari narasumber.
Setelah mengalunkan kata permisi, kami dipersilahkan masuk dan duduk. Teman yang mengajakku tadi, memperkenalkan aku dan teman-teman lainnya. Kami mengobrol singkat dan menanyakan perihal kira-kira siapa teman yang berkenan untuk diwawancarai.
Akhirnya, setelah berdiskusi, kami memutuskan mengobrol dengan mereka melalui telepon milik teman sekelas narasumber, kami terhubung dengan Fian, sebagai tujuan kami, seorang narasumber. Setelah mengatakan maksud dan tujuan, aku akhirnya dapat berbicara dengannya melalui telepon.
Fian adalah mahasiswa dari Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, angkatan tahun 2025. Ia mahasiswa semester satu, belum genap kehadirannya di tempat ini selama empat bulan. Namun, ditengah perjalanan singkat itu, ia membagikan kisahnya tentang beberapa hal yang ia rasakan.
Diukir oleh takdir, ia terlahir dengan kondisi matanya yang separuh buta membuatnya tidak diperkenankan mengemudi motor seorang diri. Ketika Fian hendak memulai perjalanannya ke kampus untuk perkuliahan, Fian harus diantar atau dengan layanan bus Trans Jogja. Padahal, ketersediaan sarana bus Trans Jogja, terutama di kawasan Sleman, masih jauh dari kata sempurna.
Ketika tiba di pintu masuk fakultas, jalur pemandu (Guiding Block) terhampar, namun hanya sampai disana. Lantai dua, tiga, bahkan lorong menuju ruang-ruang lain luput dari keberadaannya. Jalur pemandu itu hanya menjadi penanda di pintu masuk dan pintu keluar saja. Konsekuensinya, saat Fian kepingin pergi ke kantin, ia wajib ditemani temannya, menjaga diri dari kemungkinan tergelincir atau tersandung dan menabrak atau tertabrak.
Fian tidak hanya berfokus pada arahnya sendiri, ia adalah seseorang yang memiliki atensi dan kepedulian kepada orang lain. Matanya teliti dan tajam, memperhatikan teman-temannya yang tunarungu dan tunadaksa. Ketika dikelas, mayoritas dosen menjelaskan dengan cara oral atau verbal, ia bergulat dengan pikirannya sendiri, “Aku penasaran, gimana cara mereka mengatasi kendala mereka itu gimana? Apakah mereka mendapat materi dari dosennya secara utuh, atau gimana seharusnya ketika kelas itu? Apakah mereka pakai JBI? Kayaknya nggak mungkin sih ada JBI.”
Sebagian dosen telah menyediakan PowerPoint (PPT), tetapi biasanya hanya berisi poin-poin saja dan tidak menjelaskan materi secara detail. Fian menyarankan, agar lebih baik ada ringkasan utuh dalam format paragraf seperti word atau dokumen. Dengan begitu, pemahaman terhadap materi dapat diraih dengan lebih menyeluruh dan komprehensif.
Fian mengatakan bahwa teman-teman tunarungu menggunakan alat bantu Text To Speech untuk membantu mereka ketika dosen berbicara. Sedangkan, Fian yang kesulitan dalam penglihatan mengusulkan sebaiknya PPT dan Word berisi dominan teks daripada gambar. Fian merasa kesulitan karena cara untuk menerjemahkan gambar cukup ribet daripada teks secara langsung.
Kepeduliannya meluas, ia juga memperhatikan bagaimana akses fisik gedung kampus turut menghalangi pergerakan teman-teman yang bergantung pada kursi roda. Menurutnya, grading ground (tanjakkan) antar gedung itu terasa terlalu curam. Kondisi ini harus diwaspadai dan berpotensi menyebabkan kecelakaan. Hal ini sangat membahayakan dan memicu teman-temannya terjatuh. Sehingga, mereka harus dibantu dengan kehati-hatian yang luar biasa. Fian pernah memiliki pengalaman menyaksikan sendiri ketika temannya terjatuh.
Fian memiliki harapan agar fasilitas bagi mahasiswa dan mahasiswi disabilitas diperhatikan sungguh-sungguh oleh para pemegang kuasa. “Kenapa? Karena meskipun orang-orang yang memiliki disabilitas itu, mereka tetap menjadi mahasiswa,” tegas Fian, seorang mahasiswa yang berharap suara kecilnya ini didengar. Ia adalah seorang pembelajar dengan hasrat menimba ilmu yang menyala terang. Fian menambahkan, “Mungkin fisik mereka itu kurang. Cuman untuk secara kognitif, mereka itu tidak bermasalah, dan bahkan, kecenderungan mereka itu lebih cerdas daripada orang-orang lainnya.”
Fian menyatakan pandangannya bahwa potensi mereka tidak boleh disia-siakan dan perlu didukung secara penuh. Mereka yang disabilitas bukanlah manusia yang boleh diabaikan, mereka adalah manusia yang sepatutnya dirangkul, dijaga, dan didukung setara. Mereka adalah jiwa-jiwa yang teruji dan dianugerahi ketahanan untuk menghadapi realitas dunia. Mereka adalah manusia-manusia terpilih yang diizinkan untuk menjelajahi dunia ini dengan kekuatan yang melampaui batas.
Babak wawancara telah usai. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya karena telah bersedia menghadirkan ceritanya dalam tulisan ini. Dari nada bicaranya yang antusias, tertata, dan sarat informasi, Fian adalah potret mahasiswa yang bertalenta. Melalui Fian, kami belajar bersyukur dan bersemangat dalam menjalani kehidupan. Di akhir kata, Fian mengatakan, “Semoga orang yang baca semakin sadar, kalau ternyata di universitas, terutama ketika ada seorang mahasiswa, yang dimana mereka mengalami disabilitas, mungkin fisik, baik tunanetra atau tuna rungu, itu perlu diperhatikan.”
Daisyi Nuroni Zahiroh
Editor : Nadira Normala Sari

Leave a Reply