lustrasi oleh Sinta/Badhar

Budi Pekerti: Cermin Etika di Era Digital

Judul film: Budi Pekerti

Tahun rilis: 2023

Genre: Drama

Asal negara: Indonesia

Sutradara: Wregas Bhanuteja

Produksi: Rekata Studio, Kaniga Pictures

 

magang.ekspresionline.com—Film Budi Pekerti menjadi salah satu karya paling berkesan dalam perfilman Indonesia tahun 2023. Disutradarai oleh Wregas Bhanuteja yang sebelumnya sukses dengan film Penyalin Cahaya, film ini kembali memperlihatkan kepekaan sosial sang sutradara terhadap isu moral dan media digital di masyarakat.

Melalui kisah sederhana namun menggigit, Budi Pekerti mengajak penonton merenungi kembali arti dari “etika” dan “kebaikan” di tengah derasnya arus media sosial, di mana reputasi seseorang bisa hancur dalam hitungan detik hanya karena potongan video yang viral.

 

Sinopsis

Film berdurasi sekitar 116 menit ini berfokus pada sosok Bu Prani (diperankan dengan sangat kuat oleh Sha Ine Febriyanti), seorang guru bimbingan konseling di sebuah SMA negeri di Yogyakarta. Dikenal disiplin dan tegas, Bu Prani yang tadinya ingin diangkat jabatannya menjadi wakil kepala sekolah tiba-tiba menjadi korban perundungan digital setelah sebuah potongan video dirinya bersitegang dengan pengunjung pasar yang menyerobot antrian viral di media sosial.

Peristiwa itu memicu badai besar: reputasinya hancur, murid-muridnya menjauh, dan keluarganya ikut terseret dalam tekanan sosial yang kejam. Suaminya (Dwi Sasono) yang juga didiagnosis dengan penyakit bipolar akibat selalu gagal dalam pekerjaannya karena kondisi saat masa Covid-19, serta kedua anaknya Tita (Prilly Latuconsina) dan Mukhlas (Angga Yunanda) harus menghadapi komentar jahat netizen yang menghujani mereka tanpa ampun meski sudah klarifikasi, yang mana sebenarnya Bu Prani tidak bersalah.

Seketika semuanya berpihak kepada Bu Prani berkat “refleksi” yang ia terapkan selama menjadi guru BK yang dinilai banyak orang mempunyai dampak baik bagi anak-anak nakal yang ia beri “refleksi”, semacam jenis hukuman yang bisa memberikan efek jera kepada siswa yang nakal. Tetapi disinilah puncaknya,  ternyata salah satu alumni bernama Gora (Omara Esteghlal) yang pernah mendapatkan “refleksi” dari Bu Prani dulu terkena penyakit mental yang disebabkan oleh “refleksi” tersebut, menggali kuburan yang membuatnya trauma, dan public kembali menghujam beragam komentar buruk kepada Bu Prani. Membuat ia akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya menjadi Guru BK sebagai bentuk penyesalan karena membuat Gora menjadi memiliki penyakit mental yang disebabkan oleh “refleksi” yang ia buat.

Cerita kemudian berkembang menjadi potret getir tentang bagaimana dunia digital bisa mengubah persepsi publik terhadap kebenaran dan bagaimana keluarga Bu Prani mempertahankan martabat di tengah badai moral dan fitnah.

 

Sinematografi

Sinematografi dalam Budi Pekerti digarap dengan cermat oleh Gunnar Nimpuno, menghadirkan visual realis yang hangat sekaligus menekan. Pemilihan warna-warna lembut dengan tone kebiruan membuat suasana terasa getir dan penuh beban emosional. Sudut pandang kamera sering kali menyorot wajah Bu Prani dari jarak dekat, seolah mengajak penonton merasakan tekanan batin yang ia alami.

Wregas Bhanuteja juga piawai menggunakan framing untuk memperlihatkan keterasingan tokoh. Misalnya, dalam adegan ketika Bu Prani duduk sendirian di ruang guru atau menatap layar ponsel di malam hari, kamera seolah mempertegas perasaan isolasi di era digital yang paradoks: ramai namun sepi.

Selain itu, penggunaan ruang domestik (rumah, dapur, ruang kelas) terasa sangat hidup dan otentik. Semua ini menjadikan Budi Pekerti bukan hanya film sosial, tetapi juga pengalaman visual yang mendalam dan “relatable” bagi siapa pun yang pernah merasa tidak berdaya menghadapi opini publik.

 

Soundtrack

Musik latar Budi Pekerti dikomposisi dengan penuh perasaan oleh Yennu Ariendra dan Iga Massardi. Iringan musik yang lembut, berpadu dengan nuansa gamelan modern, menciptakan atmosfer sendu yang menegaskan dilema moral dalam film. Tidak ada lagu-lagu pop yang mencolok, tetapi setiap alunan instrumen seolah menuntun emosi penonton dari rasa marah, malu, hingga haru yang mendalam.

Sound design film ini juga sangat detail, suara notifikasi ponsel, komentar netizen yang bergema, atau dengungan ruang kelas, serta berisiknya kehidupan di dalam pasar semuanya digunakan untuk memperkuat pesan utama film bahwa dunia digital adalah ruang yang bisa sangat bising dan menekan.

 

Pesan dan Refleksi Sosial

Budi Pekerti berbicara tentang banyak hal: kehancuran reputasi, tekanan sosial, nilai-nilai moral yang luntur, dan bagaimana masyarakat mudah menghakimi tanpa tahu cerita lengkap. Bu Prani menjadi simbol dari banyak orang baik yang kalah karena dunia maya tidak memberi ruang untuk penjelasan.

Film ini tidak menggurui, tetapi dengan lembut menampar kesadaran kita bahwa kebaikan, kejujuran, dan etika masih sangat relevan, justru di zaman ketika semua orang bisa menjadi “hakim” lewat layar gawai.

Wregas berhasil menghadirkan narasi yang tajam tanpa kehilangan sisi humanisnya. Ia tidak hanya mengkritik masyarakat yang mudah termakan hoaks, tapi juga mengajak kita untuk lebih berhati-hati dalam bersosial media.

 

Ulasan Akhir

Sebagai sebuah film drama sosial, Budi Pekerti tampil kuat, emosional, dan reflektif. Akting Sha Ine Febriyanti layak diacungi jempol, ia membawa karakter Bu Prani dengan kedalaman dan kesabaran luar biasa. Naskahnya padat, pengarahannya tenang, dan setiap adegan memiliki makna tersendiri.

Meski pada bagian akhir film terasa sedikit lambat, keseluruhannya tetap solid dan meninggalkan kesan mendalam. Budi Pekerti bukan sekadar tontonan, tetapi peringatan moral bagi kita semua, bahwa etika bukan hanya pelajaran di sekolah, melainkan nilai hidup yang harus terus dijaga di dunia nyata maupun digital.

 

Penulis: Nadya Salsabila

Editor: Sinta Nowi Natalia


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *