magang.ekspresionline.com–Ketidaksiapan dan pemecahan Gedung untuk pembelajaran di Fakultas Psikologi UNY, ironi Pemekaran Fakultas Psikologi UNY dan Keputusan Rektor UNY untuk memekarkan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi menjadi dua entitas terpisah, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) dan Fakultas Psikologi (FP), seharusnya menjadi momentum bersejarah yang menjanjikan peningkatan mutu dan otonomi.
Namun, realitas di lapangan jauh panggang dari api. Pemisahan yang diresmikan ini justru melahirkan kendala infrastruktur yang serius, yang dampaknya langsung dirasakan oleh mahasiswa. Gedung asli Fakultas Psikologi tidak lagi memadai, dan sebagai gantinnya, kegiatan perkuliahan dipindahkan sementara ke Gedung Parkir Terpadu di lantai 4.
Perpindahan lokasi ke tempat yang secara fungsi tidak diperuntukkan sebagai gedung akademik ini menjadi simbol utama dari perencanaan yang tergesa-gesa. Kondisi ini membuat proses transisi akademik terganggu secara fundamental, menunjukkan adanya kegagalan koordinasi antara keputusan di tingkat kebijakan dengan kesiapan fasilitas operasional.
Kendala yang mengiringi pemindahan mendadak ke Gedung Parkir Terpadu ini bukanlah masalah sepele, melainkan serangkaian isu vital yang menggerus kualitas pembelajaran. Masalah utama adalah ketidaksiapan ruang kelas yang dibuktikan dengan dipaksanya mahasiswa mengikuti perkuliahan secara daring selama dua minggu di awal perkuliahan sebagai upaya ‘persiapan kelas’.
Tidak hanya itu, tapi ada juga ada dosen yang masih memberikan tugas tanpa pertemuan tatap muka, menyoroti bahwa masalah ini bukan hanya tentang gedung, tetapi juga manajemen transisi akademik yang kurang optimal.Seperti yang dikatakan Aini mahasiswa Psikologi UNY “ini jadi kurang efektif soalnya juga kita kesusahan kalau ada tugas kelompok karena belum saling kenal satu sama lain”.
Padahal, seharusnya fasilitas sudah siap sebelum semester dimulai agar para mahasiswa baru Fakultas Psikologi tidak kesulitan dalam pembelajaran.
Selain itu, aktivitas pembangunan yang masih berlangsung di lantai 3 dan 5, gedung yang sama menciptakan lingkungan belajar yang bising dan tidak kondusif, merusak konsentrasi para mahasiswa. “ tidak nyaman ruangannya berisik, belajar di kelas jadi ngga fokus”.
Ditambah lagi, persoalan mendasar seperti daya listrik yang tidak mencukupi seringkali menyebabkan listrik padam hanya karena menyalakan dua pendingin udara, memaksa proses belajar dilakukan dalam kondisi panas dan tidak nyaman.
Semua ini menegaskan bahwa asumsi Prof. Sumaryanto, Rektor UNY, tentang kesiapan infrastruktur Fakultas Psikologi untuk berdiri sendiri, terbukti prematur dan tidak valid. Kondisi sarana prasarana yang jauh dari standar kelayakan ini memicu keluhan serius dari mahasiswa.
Salah satunya yaitu Aqila narasumber mahasiswa Psikologi yang mengungkapkan bahwa “ada beberapa kelas yang kecil dan sempit jadi ngga nyaman”
Lebih lanjut, kendala ini diperparah dengan masalah parkir yang tidak mencukupi untuk dosen, meskipun ada alokasi lantai 2 untuk dosen dan lantai 1 untuk mobil dinas, hal itu tetap dirasa sempit di tengah kebutuhan mobilitas yang tinggi.
Selain itu, aspek krusial seperti ketersediaan kamar mandi yang kurang memadai karena lantai 3 dan 5 sedang ada pembangunan juga disoroti, mencerminkan kurangnya perhatian terhadap fasilitas pendukung. Mereka juga mengeluhkan tentang tempat parkir yang juga kurang memadai, alhasil mereka harus parkir di tempat lain seperti FMIPA, FIP, depan Rektor, ataupun juga parkiran FIKK.
Dari berbagai persoalan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemekaran fakultas, yang seharusnya membawa kemajuan, malah melahirkan kemunduran kualitas fasilitas dan proses belajar. Mahasiswa Fakultas Psikologi kini menjadi korban dari fails manajemen infrastruktur yang ditutupi dengan solusi sementara di gedung terpadu UNY.
Namun, ada beberapa harapan yang mereka sampaikan untuk Fakultas Psikologi kedepannya terutama dalam hal infrastruktur “untuk kedepannya semoga bisa lebih baik lagi, perbanyak kelas, parkir, wifi, dan fasilitas lain yang belum memadai”.
UNY sebagai institusi pendidikan tinggi juga berkewajiban untuk menyediakan sarana prasarana yang representatif dan mendukung iklim akademik. Pihak Universitas harus segera mengambil langkah nyata, bukan hanya janji, untuk mengatasi krisis daya listrik, mempercepat penyelesaian gedung yang layak, dan memastikan bahwa setiap rupiah UKT mahasiswa dibalas dengan fasilitas dan kualitas pendidikan yang optimal, bukan dengan ketidakpastian di tengah deru pembangunan yang mengganggu.
Belva Ramadia
Editor: Muhammad Evan Tegar Saputra

Leave a Reply