Ilustrasi oleh Azward/Badhar

Saat Nalar Mahasiswa Tumbuh di Bawah Bayang Kekerasan Simbolik di Kampus

magang.ekspresionline.com–Dalam bayangan ideal, kampus seharusnya menjadi rungan yang membuka bagi pertumbuhan nalar, di mana gagasan diuji, diperdebatkan, dan dikembangkan bersama. Namun kenyataannya, dibalik wajah akademik yang tampak ideal, banyak kasus menelanjangi sisi gelap yang sering luput dari perhatian yaitu kekerasan simbolik yang menjelma melalui relasi kuasa antara dosen, senior dan mahasiswa.

Belakangan ini, media sosial ramai oleh kisah mahasiswa yang mengalami pelecehan verbal, direndahkan dalam forum akademik atau bahkan dikucilkan hanya berani menyampaikan kritik. Kekerasan semacam ini memang tidak selalu meninggalkan luka fisik begitu parah, malahan dampaknya memberi efek terhadap akan rusaknya mental dan keberanian intelektual begitu dalam.

Salah satu contoh yang saya pernah alami, kala seorang dosen membantah pendapat mahasiswanya dengan berkata, “Kamu belum tahu karena kamu belum mengajar. Tunggu setelah kamu jadi guru.” Pernyataan ini tampak sederhana, namun sesungguhnya merupakan bentuk penolakan terhadap nalar kritis. Ia menjadikan pengalaman sebagai benteng otoritas, seolah-olah hanya mereka yang “sudah menjalani” yang berhak berpendapat.

Kenapa ini menjadi masalah yang lebih besar daripada sekadar marah karena dipermalukan? Karena fenomena ini menunjukkan relasi kuasa yang timpang dan kekerasan simbolik di dunia akademik. Gejala ini menyingkap bahwa lingkungan akademik tidak selalu seaman yang dibayangkan. Masih ada relasi kuasa yang sering disalahgunakan. Tak jarang, dosen yang berjubah senioritas mempermalukan mahasiswa, menolak kritik, atau merendahkan pendapat dengan dalih “kurang pengalaman” atau “belum empiris.” Pada titik ini, pengalaman pribadi bukan lagi alat untuk membimbing, malah berubah menjadi satu-satunya tameng untuk menekan kebenaran tanpa rasional.

 

Pengalaman yang Selalu Disakralkan 

Pernyataan bahwa seseorang tidak boleh bersuara mengkritik jika tidak mengalami langsung adalah bentuk argumentasi yang keliru. Dalam logika berpikir, ini disebut logical fallacy, yakni kesalahan penalaran yang tampak rasional tapi menyesatkan. Pandangan seperti ini sering digunakan untuk membatasi kritik dan mempertahankan status quo, seolah hanya pengalaman yang bisa memvalidasi kebenaran.

Rasionalisme yang diwakili oleh tokoh seperti René Descartes, menegaskan bahwa kebenaran dapat dicapai melalui proses berpikir logis, bukan semata-mata dari pengalaman inderawi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita semua tahu bahwa tidak harus mengalami langsung suatu hal untuk tahu bahwa hal itu bisa salah ataupun merugikan. Sama seperti kita tidak harus menjadi pengguna narkoba untuk memahami bahwa narkoba merusak tubuh dan akal manusia. Begitu juga di dunia kampus, mengkritik tanpa harus mengalami langsung seharusnya dilihat sebagai bentuk partisipasi intelektual, bukan pembangkangan.

Padahal, dalam dunia akademik, kritik adalah bagian dari mekanisme koreksi intelektual dan moral yang tidak boleh dibatasi oleh pengalaman empiris semata. Dan kritik sejati seharusnya bersifat inklusif, di mana hak untuk berpikir dan bersuara dimiliki oleh siapa pun, bukan hanya bagi mereka yang “pernah mengalami.”

Kemampuan untuk mengkritik tidak bersumber dari pengalaman empiris semata, melainkan dari kapasitas intelektual dan moral manusia untuk menilai. Jika kita menuntut bahwa hanya orang yang memiliki pengalaman yang boleh membenarkan sesuatu, maka akan kehilangan fungsi kontrolnya. Manusia akan menjadi cacat berbicara dan bisu akan menyampaikan pikiran, karena setiap orang sibuk menunggu pengalaman agar layak bersuara.

 

Mengembalikan Kampus Sebagai Ruang Dialog

Kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi kebebasan akademik, bukan tempat di mana mahasiswa takut berbicara karena khawatir dianggap lancang. Kritik bukan bentuk perlawanan, melainkan tanda kepedulian terhadap kebenaran.

Dosen dan mahasiswa idealnya berdiri sejajar sebagai pencari ilmu. Dosen membawa pengalaman dan pengetahuan sedangkan mahasiswa membawa semangat dan pertanyaan segar. Jika dua hal ini saling bertemu dalam dialog yang terbuka, maka ilmu akan tumbuh dengan subur. Namun, jika salah satu pihak merasa lebih tinggi dan menutup ruang kritik, ilmu justru berubah menjadi dogma.

Kekerasan simbolik yang dibiarkan akan menjadi budaya. Mahasiswa yang pernah direndahkan bisa saja meniru pola yang sama ketika ia naik posisi. Begitulah siklus kekuasaan bekerja menular lewat kebiasaan, diwariskan lewat ketakutan. Kampus pun perlahan kehilangan jiwanya, menjadi ruang reproduksi ego, bukan pengetahuan, karena itu, penting untuk membangun kultur akademik yang egaliter dan reflektif. Dosen bukan dewa, mahasiswa bukan budak ilmu. Keduanya bagian dari komunitas berpikir yang seharusnya saling belajar dan saling mengoreksi.

Akhirnya, kemampuan untuk mengkritik bersumber dari keberanian moral dan kejernihan nalar. Jika kampus hanya memberi ruang bagi suara “yang berpengalaman” menjadi akar tunjang kebenaran mutlak, maka ia akan gagal menjalankan fungsi pendidikan yang sejati. Sebab, tujuan pendidikan bukanlah mencetak manusia yang patuh melulu, tetapi menjadi manusia yang berani berpikir dan berani berbeda.

 

Penulis: Azward Kayaedalae

Editor: Tiara Andalus Prawidma

 

 


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *