Ilustrasi oleh Agusta/Badhar

Melihat Gerbang yang Ditutup dan Ironi Kampus Introvert

magang.ekspresionline.com–Pertanyaan-pertanyaan seputar ketidakadilan selalu membuntu hanya pada yang tersurat — segala yang nampak dan mengapung di permukaan kenyataan. Sedang ketidakadilan itu sendiri tidak semata-mata monoton pada satu bentuk; ia memiliki banyak kemungkinan. Kemungkinan untuk tidak transparan dengan mengalihkan bentuk adalah salah satunya.

Saya benar-benar yakin, jikalau kebanyakan mahasiswa FBSB sadar bahwa kampus mulai introvert. Kemenutupan diri ini diasosiasikan dengan dikuncinya beberapa gerbang di lingkungan kampus, khususnya gerbang di depan Gedung Kusbini. Saya pun akhirnya mempertanyakan sisi introvert ini: apakah kampus mulai “melipat jarak” (seperti kata Pak Sapardi) dengan para mahasiswa? Sebab ada ketidakkonsistenan perlakuan ini bila dikontraskan dengan tamu-tamu undangan yang memenuhi PH (Performance Hall) tiap harinya.

Pertemuan saya pada Senin (27/10/2025) dengan seorang teman ikut menguatkan sisi introvert kampus ini. Dalam bincang-bincang ringan mengenai pertandingan sepak bola semalam (El Clasico), saya dengan sengaja dan secara acak melontarkan pertanyaan kepadanya, “Andre, apa pendapatmu mengenai salah satu gerbang di area FBSB yang mulai ditutup sejak jam 5 sore?”

Lelaki barista itu dengan lugas berkata, “Sebenarnya nggak boleh gitu, karena secara nggak langsung membatasi ruang diskusi dan berekspresi.” Ia juga menambahkan bahwa segala ruang gerak mahasiswa menjadi rumit. Contoh kasusnya, bila ada semacam latihan atau kerja kelompok, akses keluar-masuk akan sangat sulit.

Saya mengangguk mendengarnya, dan dari suaranya saya merasa ada ketidakpuasan yang ditahan — yang selama ini dipendam tanpa ada ruang untuk disalurkan. Tapi saya menganggap itu sebagai salah satu dari sekian suara yang bungkam, sedangkan yang lain diam digembok telapak-telapak kekuasaan. Lantas, sekiranya pertanyaan random tadi berhasil memantik gerbang yang ditutup dan kampus yang introvert itu.

 

Krisis Kebebasan

Slogan FBSB sebagai fakultas seni perlahan menjadi label baju yang lupa dicabut — menggantung tanpa arah dan tujuan yang jelas. Memang cukup naif memprivilesekan kebebasan sebagai “jalan ninja” bagi kampus seni. Dan dengan ditutupnya gerbang, mengindikasikan adanya krisis yang terjadi. Tapi sekali lagi, problem ini tidak terbatas pada apakah yang ini seni dan yang itu tidak, sebab kebebasan tak mengkotak-kotakkan dalam berpihak; tak menyangkal yang satu dan mengafirmasi yang lain.

Teringatlah saya pada salah satu esai pengarang filsuf Prancis, Albert Camus, yang berjudul Menghormati Sebuah Pengasingan. Ada beberapa pemikiran yang kiranya menyentuh kebebasan, seperti salah satu pernyataannya yang berbunyi:

“Menjadi manusia bebas tidaklah semudah anggapan kebanyakan orang. Sesungguhnya, satu-satunya orang yang menganggap hal itu mudah justru adalah mereka yang menyangkal kebebasan itu sendiri. Kebebasan ditolak bukan karena hak-hak istimewanya, seperti yang banyak diduga orang, melainkan karena kewajiban-kewajiban yang melelahkan.”

Perlulah kita menyadari bahwa jauh sebelum terjadinya krisis kebebasan, menjadi manusia bebas saja sudah berarti siap menanggung segala risiko. Terlepas dari pandangan zona nyamannya, kebebasan akan selalu menghantui kita akan pilihan-pilihan yang tak pasti. Dan terkadang kebebasan semakin pelik ketika adanya campur tangan oknum-oknum untuk mengeruk habis kebebasan. Individu hingga kelompok terancam secara eksistensialis, sementara kampus mulai dipagari dan berteralis.

 

Budaya Antidialogis

Setelah menyadari bahwa kampus mulai introvert, saya menduga terdapat upaya untuk tidak terbuka. Birokrasi semakin menjauhkan diri dari komunikasi dan dialog. Mahasiswa luntang-lantung mencari perwalian untuk menyalurkan keresahan masing-masing. Sebaliknya, kampus dengan menerapkan kebijakan-kebijakan tersebut semestinya melewati dialog dengan mahasiswa. Atau mungkin, sudah terjalin dialog tapi terjeda tanpa alasan, sehingga muncullah tanda tanya.

Istilah antidialogis sendiri adalah pemikiran Paulo Freire perihal Pendidikan Kaum Tertindas. Dijelaskan bahwa aksi antidialogis ialah adanya kebutuhan untuk menaklukkan. Para individu antidialogis, dalam hubungannya dengan orang lain, mempunyai tujuan untuk menaklukkan orang lain — semakin meningkat dan menggunakan segala cara, dari yang paling kuat sampai yang paling halus, dari yang paling menindas sampai yang paling peduli (paternalism).

Jadi, introvert dan segala usaha untuk menjaga jarak hanyalah sebuah kedok — kedok yang menyelubungi kemauan berkuasa atau menaklukkan. Berawal dari hilangnya dialog, lalu turunnya kebijakan, dan terjadilah krisis kebebasan. Seperti yang diterangkan di atas, bahwa penaklukan menghalalkan segala cara: mulai dari yang paling kuat sampai yang paling halus, dari yang paling menindas sampai yang paling peduli.

Maka, sebagai upaya memotret gerbang yang ditutup, dapat saya uraikan bahwa fenomena tersebut penuh dengan tujuan yang terselubung. Intrik-intrik politik bersenyawa di dalamnya. Perkaranya tidak sesederhana menutup gerbang, tapi ada ruang yang disempitkan dan kebebasan yang tersudutkan.

Penggambaran demikian alih-alih bernada tuduhan, melainkan terpajang sebagai fakta yang jarang tersorotkan. Begitupun sebaliknya dengan ironi kampus introvert yang mengindikasikan sikap antidialogis atau kebutuhan untuk berkuasa. Keberjarakan antara birokrasi dan mahasiswa sama-sama menyelubungi keberpihakan yang tidak sejajar. Ironinya adalah ketika kebijakan memberatkan satu sisi (mahasiswa), sedangkan menguntungkan yang lain (birokrasi).

Lantas, sejauh mana gerbang akan terus ditutup dan ironi kampus introvert ini berlaku? Sementara kebebasan perlahan disudutkan, lalu kita akan menutup mata terhadap ketidakadilan.

 

Penulis: Agusta Mario. B Nanga

Editor: Tiara Andalus Prawidma

 


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *