Judul film : Laut Memanggilku
Tahun rilis : 2021
Genre : Drama
Asal negara : Indonesia
Sutradara : Tumpal Tampubolon
Produksi : Tanakhir Films
magang.ekspresionline.com–Dalam dunia perfilman Indonesia yang semakin beragam, film pendek Laut Memanggilku karya Tumpal Tampubolon muncul sebagai karya yang menyentuh hati. Dirilis pada 2021, film berdurasi kurang dari 18 menit ini dibintangi oleh Muhammad Umar sebagai Sura dan Dikky Takiyudin sebagai Argo. Prestasinya tak main-main: meraih Film Pendek Terbaik di Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021, serta Sonje Award di Busan International Film Festival (BIFF) dengan judul The Sea Calls For Me. Film ini bukan sekadar hiburan, melainkan cerminan sosial yang mengundang renungan mendalam tentang kesepian, keterlantaran anak, dan kerusakan lingkungan.
Plot yang Sederhana namun Menggugah
Cerita berpusat pada Sura, seorang anak laki-laki yang hidup sebatang kara di rumah kayu sederhana di pemukiman tepi laut. Kehidupannya monoton: melelang ikan di pasar, lalu menghabiskan waktu di pantai yang penuh sampah. Suatu hari, ia menemukan sebuah boneka seks yang ia sebut “balon” dan bawa pulang sebagai pengganti kasih sayang yang hilang. Boneka itu menjadi teman setia, menutupi rasa kesepiannya. Namun, kedatangan Argo seorang laki-laki dewasa membawa perubahan dan konflik yang tak terduga, mengganggu “kehidupan baru” Sura.
Tanpa dialog berlebihan, film ini mengandalkan visual dan atmosfer untuk menyampaikan pesan. Adegan-adegan pelan di pantai menciptakan suasana kesepian yang intens, dengan suara laut yang memanggil sebagai metafora kehilangan. Tampubolon, yang dikenal dengan gaya gelap seperti dalam Wiro Sableng, mendominasi narasi dengan fokus pada emosi internal tokoh.
Tema Kesepian dan Keterlantaran Anak
Laut Memanggilku mengangkat isu sosial yang relevan: kesepian anak-anak yang tumbuh tanpa orang tua. Sura, mirip dengan Lintang di Laskar Pelangi, hidup tanpa pendampingan, meski Lintang masih punya ibu. Film ini menyoroti bagaimana rasa sepi bisa muncul sejak dini, dan bagaimana anak-anak seperti Sura mencoba mengisi kekosongan dengan cara mereka sendiri dalam hal ini, melalui boneka yang ia anggap sebagai “ibu”.
Diskusi seputar film ini juga menyinggung peran pemerintah. Di tengah realitas sosial di mana banyak anak kehilangan kasih sayang akibat ekonomi, perceraian, atau kematian, film ini seolah bertanya: Apakah pemerintah cukup memberikan perhatian dan perlindungan? Kritikus menekankan bahwa anak-anak seperti Sura perlu pendidikan dan bimbingan, bukan dibiarkan meniru lingkungan keras yang membentuk karakter negatif. “Miskin gausah punya anak,” begitu kata salah satu komentar, menyoroti tanggung jawab orang tua untuk menghidupi anak sebagai “pembuka rizki”.
Isu Gender dan Lingkungan yang Kontroversial
Salah satu aspek menarik adalah pemilihan tokoh laki-laki untuk Sura. Mengapa bukan perempuan? Sutradara Tampubolon tampaknya ingin mengeksplorasi perspektif berbeda: laki-laki yang berinteraksi dengan boneka seks (yang biasanya diasosiasikan dengan perempuan) bisa menimbulkan stigma negatif, seperti godaan atau eksploitasi. Ini menimbulkan perdebatan tentang standar ganda gender apakah film ini mengangkat isu ketidakadilan, di mana laki-laki dianggap “serba bisa” sementara perempuan tidak. Boneka itu juga menjadi simbol pengalihan emosi, mengontraskan dengan sampah di pesisir yang merepresentasikan kerusakan moral manusia.
Latar pesisir yang penuh sampah bukan sekadar dekorasi. Film ini mengaitkan kesunyian manusia dengan kerusakan lingkungan, mengundang penonton bertanya: Apakah keduanya saling terkait? Adegan Sura duduk di pantai mungkin mengenang ibunya, menambah lapisan simbolisme. Kritikus juga mencatat minimnya interaksi sosial di kampung laut tidak ada tetangga yang peduli, berbeda dari struktur kebudayaan pesisir yang biasanya kental solidaritas. Ini mencerminkan ciri perkotaan yang individualistis, di mana “fatherless” seperti Sura umum terjadi.
Kekuatan dan Kelemahan
Film ini kuat dalam membuka ruang perenungan tanpa dialog berlebihan. Setiap adegan seperti potongan renungan tentang hidup, kasih sayang, dan kepedulian. Namun, ada kritik: sound yang kurang bisa dinikmati, minim dialog, dan kurangnya detail tentang sosok ayah Sura yang ditunggu. Beberapa adegan terasa lambat, dan film ini mungkin tidak diterima semua orang karena sudut pandangnya yang spesifik. Meski begitu, sebagai karya indie yang tidak dibuat untuk industri besar, Laut Memanggilku berhasil mendaur ulang sampah menjadi metafora, menarik penonton lokal untuk merenungkan isu sosial.
Secara keseluruhan, film ini bukan untuk hiburan ringan, melainkan untuk menggugah. Jika ingin mencari film yang menyentuh tentang realitas sosial Indonesia, Laut Memanggilku layak ditonton. Penghargaannya di FFI dan BIFF membuktikan kualitasnya sebagai sebuah karya yang melawan arus, bukan mengejar popularitas.
Penulis: Zenika Agustina Farah Azzahra
Editor: Sinta Nowi Natalia

Leave a Reply