magang.ekspresionline.com–Setiap mahasiswa tentu berharap dapat mengikuti perkuliahan dengan nyaman dan kondusif. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Di beberapa universitas, kapasitas ruang kelas, tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang mengikuti perkuliahan. Akibatnya, suasana belajar menjadi kurang efektif. Beberapa mahasiswa terpaksa duduk di lantai, berdiri, mengambil kursi dari ruang kelas lain, bahkan sampai berdesak-desakan dengan teman satu kelas nya. Kondisi ini tidak hanya menggangu konsentrasi belajar, tetapi juga mencerminkan persoalan manajemen fasilitas yang perlu mendapat perhatian khusus.
Di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), banyak mahasiswa yang mengalami kekurangan ruang kelas untuk kegiatan perkuliahan. Banyak yang tidak mendapatkan kursi, ruang kelas, ataupun ruang latihan yang cukup. Hal itu membuat mahasiswa harus melakukan pembelajaran dengan situasi yang kurang nyaman. Dosen pun mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan seluruh mahasiswa, sedangkan mahasiswa yang berada di kursi belakang seringkali tidak dapat mendengarkan atau memperhatikan materi dengan baik.
Pada Fakultas Bahasa Seni dan Budaya (FBSB) terdapat beberapa prodi yang mengalami hal tersebut. Pada prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) dan Pendidikan Bahasa Jerman (PBJ), mereka harus mengambil kursi dari kelas sebelah, agar mahasiswa-mahasiswa yang tidak dapat kursi bisa mengikuti kegiatan perkuliahan. Hal tersebut tentu nya akan membuang-buang waktu belajar yang dimiliki mahasiswa karena mereka harus mengambil kursi dari kelas sebelah.
Hal yang sama terjadi pada Pendidikan Seni Musik. Bukan kelebihan atau kekurangan kapasitas ruang kelas yang mereka alami, tapi kurang nya ruang latihan. Salah satu mahasiswa mengaku, jika ingin latihan harus datang lebih awal untuk mendapatkan ruangan atau tempat yang nyaman untuk latihan. Jika datang terlambat, maka tempat-tempat latihan akan cepat penuh dan sudah di pakai oleh mahasiswa lain. Tidak sedikit juga, mahasiswa Pendidikan Seni Musik yang latihan di depan kelas ataupun di belakang gedung kuliah. Ada juga yang meletakkan alat musik yang mereka miliki di belakang gedung kuliah, seperti menandai bahwa itu adalah tempat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kurang nya perhatian terhadap mahasiswa seni, khusus nya musik.
Terakhir, pada prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Salah satu mahasiswa mengaku, bahwa ia tidak hanya kekurangan ruang kelas, tapi juga mengalami ketelodoran dari dosen yang mengampu. Untuk mata kuliah antropolgi atau sosiologi, mereka harus melakukan pembelajaran di Lorong Gedung, karena tidak ada kelas kosong yang bisa mereka gunakan. Pernah mereka ingin memakai kelas kosong yang terdapat di Perfomance Hall. Ketika mereka meminta izin kepada petugas yang berada di Gedung PLA, petugas tersebut berkata bahwa kelas itu tidak bisa digunakan karena sudah terjadwal, padahal tidak ada yang menggunakan kelas tersebut pada jam mereka. Hal lain yang terjadi adalah seorang dosen selalu mengganti jadwal ke hari yang sama, tapi tidak pernah mengubahnya secara langsung di Siakad UNY. Hal tersebut tentu membuat mahasiswa harus mencari kelas kosong yang akan digunakan untuk perkuliahan. Tentunya, tidak ada kelas kosong untuk mereka tempati karena dipakai untuk perkuliahan jurusan lain. Di sini menunjukkan bahwa dosen tidak memberikan pengertian kepada mahasiswa dengan kelas yang sudah terjadwal. Dosen hanya mengganti jadwal sesuai dengan semaunya tanpa melihat realita di lapangan.
Pada Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) khususnya pada prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), kapasitas kelas mereka tidak mengalami kekurangan ataupun kelebihan kapasitas. Tapi untuk Gedung perkuliahan, para mahasiswa PGSD merasa terasingkan oleh prodi-prodi lain yang ada di FIP. Sebab letak gedung perkuliahan yang di gunakan prodi PGSD terletak lebih dekat dengan Fakultas Kedokteran, dan tidak berada di lingkungan FIP. Hal tersebut membuat mahasiswa prodi PGSD merasa kurang terlibat dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh FIP, karena jarak yang cukup jauh membuat akses mereka menjadi terbatas. Selain itu, interaksi mahasiswa prodi PGSD dengan mahasiswa prodi lain di FIP menjadi berkurang. Hal tersebut membuat mereka tidak memiliki rasa mempunyai di lingkungan fakultas mereka.




Penulis: Ulima Cahya Rahmawati
Editor: Tiara Andalus Prawidma

Leave a Reply