Ilustrasi oleh Sinta/Badhar

Analisis Kritis Syarat Prestasi: Mengurai Motif Birokrasi dalam Pembentukan HIMA Mandiri

magang.ekspresionline.com–Isu yang diangkat oleh mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Politik angkatan 25 untuk memisahkan Himpunan Mahasiswa (HIMA) mereka dari HIMA Prodi PKnH (Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum) adalah gambaran klasik dari konflik organisasi yang berakar pada perbedaan pendapat dan ketidakselarasan. Permasalahan internal yang pernah terjadi menjadi pemantik kuat bagi keinginan menjadi entitas mandiri. Namun, respons birokrasi yang muncul dari forum “Suara Mahasiswa” justru menghadirkan tantangan besar: syarat meraih prestasi tertentu sebagai prasyarat berdirinya HIMA baru. Persyaratan tersebut sebenarnya mencerminkan logika manajemen institusi yang kompleks dan berlapis, menuntut analisis yang lebih mendalam mengenai motif di balik kebijakan tersebut.

Pertama dan yang paling utama, birokrasi perguruan tinggi melihat pemisahan HIMA bukan sekadar pemecahan masalah perselisihan antar prodi, melainkan sebagai keputusan strategis yang berdampak pada efisiensi dan reputasi institusi. Setiap pembentukan organisasi kemahasiswaan baru memerlukan alokasi sumber daya tambahan, mulai dari pendanaan, ruang sekretariat, hingga beban kerja pembinaan oleh dosen. Dengan mensyaratkan prestasi, birokrasi mencoba mendapatkan jaminan kualitas dan kapasitas keberlanjutan dari calon HIMA. Prestasi, dalam konteks ini, berfungsi sebagai tolak ukur nyata yang membuktikan bahwa mahasiswa Ilmu Politik tidak hanya mampu mengelola konflik internal, tetapi juga memiliki visi organisasi yang berorientasi pada capaian, keunggulan, dan kontribusi nyata bagi nama baik universitas. Jika prodi terbukti mampu meraih prestasi, itu menunjukkan adanya kepemimpinan yang solid, kerjasama tim yang efektif, dan manajemen program yang terstruktur untuk mengelola HIMA secara mandiri.

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan tolok ukur prestasi oleh birokrasi? Sangat mungkin bahwa birokrasi tidak hanya merujuk pada kemenangan dalam kompetisi berskala besar. “Prestasi” dalam konteks kebijakan organisasi kemahasiswaan sering kali mencakup aspek yang lebih luas. Ini bisa berarti Prestasi Kompetitif (misalnya, keberhasilan mengirim dan memenangkan tim di ajang Program Kreativitas Mahasiswa/PKM, lomba debat konstitusi, atau esai ilmiah tingkat nasional), Prestasi Akademik Kolektif (misalnya, peningkatan signifikan dalam Indeks Prestasi Kumulatif/IPK rata-rata angkatan yang dibuktikan dengan program studi yang efektif), atau Prestasi Kelembagaan (misalnya, sukses menyelenggarakan seminar atau konferensi berskala regional yang mendatangkan pakar ternama). Singkatnya, birokrasi ingin melihat bukti bahwa calon HIMA mandiri memiliki program kerja yang mampu mengubah keresahan menjadi keunggulan, alih-alih hanya menjadi wadah baru untuk menampung ketidakpuasan. Persyaratan ini menjadi semacam “ujian kematangan” politik dan manajerial bagi mahasiswa Ilmu Politik.

Mengenai preseden kasus program studi Pariwisata dan Ilmu Sejarah, penting untuk dicermati apakah birokrasi menerapkan standar ganda atau perbedaan perlakuan. Meskipun keduanya sama-sama melalui proses pemisahan, alasan di balik pemisahan program studi Pariwisata kemungkinan besar didasarkan pada perbedaan filosofi keilmuan dan orientasi industri yang sangat fundamental. Pariwisata memiliki fokus terapan dan kebutuhan jaringan industri yang spesifik, yang mana sulit diakomodasi oleh organisasi yang didominasi oleh Ilmu Sejarah sebagai ilmu murni. Kontras dengan kasus Ilmu Politik dan PKnH yang masih berada dalam rumpun ilmu sosial dan politik yang saling bersinggungan. Birokrasi mungkin melihat potensi sinergi antara Ilmu Politik dan PKnH masih tinggi, sehingga syarat pemisahan harus lebih kuat, yakni melalui bukti pencapaian yang tidak terbantahkan. Jika program studi Pariwisata menyajikan bukti berupa keberhasilan study alumni yang terserap industri atau program magang yang spesifik, maka birokrasi melihat pemisahan sebagai langkah progresif, sementara pemisahan Ilmu Politik yang didasari konflik cenderung dilihat sebagai langkah reaktif, dan karena itu memerlukan syarat yang lebih berat untuk membuktikan keseriusan.

Jika persyaratan prestasi yang ketat ini sulit dicapai dalam waktu singkat, birokrasi seharusnya juga menawarkan alternatif solusi yang lebih berorientasi pada proses. Salah satu alternatif adalah menerapkan Masa Percobaan Organisasi atau membentuk Komite program studi Ilmu Politik. Dalam masa percobaan ini (misalnya, satu tahun akademik), mahasiswa diwajibkan menyusun Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sementara, membentuk struktur kepengurusan yang jelas, dan menjalankan program kerja unggulan (seperti yang telah diuraikan sebelumnya) yang target capaiannya harus terukur dan dilaporkan secara transparan. Keberhasilan melewati masa percobaan ini tanpa konflik internal yang signifikan dan dengan capaian program kerja yang memuaskan dapat dijadikan pengganti atau pelengkap syarat prestasi. Alternatif ini lebih adil karena berfokus pada pembinaan dan proses organisasi ketimbang hanya menuntut hasil akhir yang sulit diprediksi. Dengan demikian, birokrasi dapat menunjukkan akomodasi terhadap aspirasi mahasiswa tanpa mengorbankan standar kualitas institusi. Mahasiswa Ilmu Politik, pada gilirannya, harus bersikap proaktif, tidak hanya mengeluhkan syarat, tetapi juga merumuskan dan mengajukan rencana kerja tandingan yang secara eksplisit menunjukkan bagaimana otonomi HIMA akan berdampak positif pada reputasi dan prestasi prodi.

 

Penulis: Tiara Andalus Prawidma

Editor: Sinta Nowi Natalia

 

 


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *