Logo UNY. Ilustrasi oleh Aini/Tuts Kampus

Sampah Jogja

Tutskampus.com– hasil menghimpun berita di Harian Jogja sepanjang bulan Januari 2023 terdapat beberapa informasi mengenai persoalan sampah. Dalam satu bulan tersebut, Harian Jogja mengawal mengenai Gerakan Zero Sampah Anorganik yang dikeluarkan oleh Walikota Jogya dalam surat edaran Wali Kota Yogya No.660/6123/2022. Kebijakan tersebut dibuat dengan tujuan untuk mengurangi volume sampah Kota Jogja yang dibuang di TPST Piyungan. Adanya kebijakan tersebut juga untuk memperpanjang masa penampungan TPST Piyungan yang kian hari makin penuh akan sampah. Untuk mengawal kebijakan tersebut, pemerintah Kota Jogja juga menunjang dengan menyediakan gerobak sampah sebanyak 30. Gerobak sampah tersebut ditujukan untuk mempermudah dan memfasilitasi proses pemilahan sampah yang dilakukan oleh warga. Selain itu, pemerintah Kota Jogja juga menerjunkan Satpol PP untk melakukan pengawsan di depo-depo sampah Kota Jogja. Pengawasan tersbeut meliputi kegiatan mengecek sampah-sampah warga apakah sudah terpilah atau belum. Dalam praktiknya, banyak warga yang belum memilah dan masih menggunakan kantong plastik hitam. Hal ini menyebabkan pengawasan menjadi sulit dilakukan.

kepuasan anggota ukm akan fasilitas bidang olahraga

Upaya yang dilakukan pemerintah Jogja dengan mengeluarkan SE mengenai Gerakan Zero Sampah Anorganik belum maksimal. Bahkan, bisa dikatakan bahwa kebijakan tersebut adalah kebijakan formalitas pemerintah yang tak benar-benar menanggulangi sampah. Terbitnya kebijakan tersebut tidak dibersamai dengan fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Dengan kebijakan tersebut mengatur bahwa depo sampah hanya menerima sampah organik, sehingga masyarakat diminta untuk melakukan pemilahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke depo. Sayangnya, sosialisasi akan peraturan ini belum dilakukan secara detail dan masif. Kebijakan akan pemilahan sampah di ranah rumah tangga hanya sekadar menjadi himbauan. Warga Kota Jogja mengaku bahwa sosialisasi akan pemilahan belum maksimal dilakukan. Bisa dikatakan mereka kebingungan akan pemilahan.

Warga sudah melakukan pemilahan sampah, tetapi belum terdapat prosedur yang jelas mengenai sampah yang sudah dipilah. Warga mengaku kebingungan untuk membuang sampah anorganik yang telah dipilah. Penggerobak atau tukang sampah hanya menerima sampah organik saja. Selain itu, bank-bank sampah yang tersedia di lingkup kelurahan hanya menerima sampah-sampah yang bisa didaur ulang kembali. Pun juga mereka hanya aktif selama dua kali seminggu. Artinya, kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang ugal-ugalan. Sebabnya, pemerintah belum menyiapkan suprastruktur dan infrastruktur untuk merealisasikan kebijakan tersebut. Suprastruktur di sini yaitu bagaimana membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pemilahan sampah di ranah rumah tangga. Sosialisasi yang dilakukan juga tak jelas adanya, lagi-lagi hanya berupa imbauan tanpa dibarengi dengan prosedur penanganan yang jelas. Basis suprastruktur yang belum terbentuk adalah faktor mengapa kemudian masyarakat enggan atau bahkan tidak melakukan proses pemilahan sampah mereka.

Basis suprastruktur di sini juga melingkupi bank-bank sampah di Jogja, khususnya Kota Jogja. Timbul pertanyaan mendasar, apakah bank-bank sampah tersebut sudah berdaya secara mandiri? Jawabannya, saya belum tau. Namun, sudah semestinya bank-bank sampah diberdayakan oleh pemerintah agar secara fungsional mereka dapat membantu pengelolaan dan pengolahan sampah. Bank-bank sampah yang belum bisa aktif secara masif adalah contoh realitas nyata akan gagapnya mereka dalam mengelola sampah. Intensitas mereka yang aktif lebih kurang tiga hingga lima kali seminggu tentu tidak bisa secara maksimal mengakomodasi sampah yang dihasilkan masyarakat dan rumah tangga.

Secara infrastruktur dalam menunjang Gerakan Zero Waste Sampah Anorganik juga belum maksimal. Pemerintah belum menyediakan fasilitas atau tempat pembuangan yang tepat untuk sampah-sampah anorganik. Pemerintah hanya menggalakkan dan mengakomodir untuk sampah-sampah organik. Lagi-lagi, kebijakan tersebut bisa dikatakan adalah kebijakan setengah hati, tidak penuh dan tuntas!

Belum adanya infrastruktur yang memadai dan tepat mengakibatkan Gerakan Zero Waste Sampah Anorganik tidak berjalan dengan baik. Lagipula, alasan dari adanya gerakan ini juga patut disayangkan, yaitu untuk memperpanjang masa penampungan TPST Piyungan. Lagi-lagi kebijakan penanganan akan sampah tidak berdasarkan dari persoalan yang mendasar. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya pragmatis dan sementara. Armada truk yang terbatas juga menyebabkan proses pemilahan sampah belum berjalan secara maksimal. Akibatnya hasil pemilahan sampah masyarakat tercampur baur kembali.

Kusak-kusuk pemerintah DIY akan menggunakan teknologi modern untuk mengatasi permasalahan sampah di TPST Piyungan. Rencana tersebut dicanangkan mulai aktif di tahun 2027. Pemerintah akan menerapkan skema Kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Namun belum tau pasti teknologi seperti apa yang akan diterapkan pemerintah dalam menanggulangi persoalan sampah.

Menyikapi persoalan sampah di Piyungan, ahli lingkungan merekomendasikan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF). Selain dengan RDF untuk menanggulangi piyungan, produksi sampah juga harus ditekan, dalam hal ini adalah dengan menaikkan harga atau retribusi mengenai pengelolaan sampah dan industri. Pihak ahli lingkungan menyatakan bahwa retribusi sampah di tingkat rumah tanggal adalah sebesar 2.000 rupiah di tiap keluarga. Jumlah tersebut sangat kecil untuk dibebankan ke pemerintah atau pihak pengelola sampah untuk menangani persoalan sampah. Besaran retribusi tersebut perlu dinaikkan agar masayrakat menjadi berpikir ulang untuk menghasilkan sampah mereka. Paling tidak tanggung jawab akan sampah mulai hadir di kesadaran masyarakat.

Hal tersebut juga harus diberlakukan kepada industri, mengingat industri adalah pihak yang semestinya bertanggung jawab penuh atas sampah yang dihasilkan dari produk mereka. Alih-alih pemerintah mengawasi dan menerjunkan satpol PP di tiap-tiap depo sampah, semestinya mereka juga harus melakukan pengawasan di sektor-sektor industri yang notabene adalah pihak penghasil sampah yang cukup besar. Bahkan semestinya pemerintah dapat menggunakan kewenangannya untuk kemudian dapat menerbitkan kebijakan akan pengawasan mengenai pengawasan di industri. Sayangnya, hingga sekarang belum ada kebijakan khusus yang mengatur mengenai pengawasan atau paling tidak mengatur industri untuk bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan oleh produk mereka. Paling tidak industri-industri di Jogja mesti dikenakan pajak yang tinggi akan sampah yang mereka hasilkan. Seperti sudah saya katakan sebelumnya, lagi-lagi pemerintah tidak tepat sasaran dan subtasional dalam menangani persoalan sampah.

Masa penampungan TPST Piyungan yang makin rentan memaksa pemerintah harus memutar untuk menangani persoalan sampah. Kabupaten Sleman adalah salah satu wilayah yang bergantung betul kepada TPST Piyungan untuk menangani persampahan daerah mereka. Penuhnya tempat penampungan tersebut, pihak pemerintah Sleman berencana akan mendirikan dan membangun TPST serta menggalakkan gerakan memilah sampah. Setidaknya pemerintah Sleman akan membangun TPST di empat titik yang meliputi. Kalasan, Caturtunggal, Sendangrejo, dan Turi. Namun, sejauh ini yang sudah sepakat untuk dibanung adalah di wilayah Kalasan. Rencana ini tentu baik, tetapi perlu untuk diberikan sikap skeptis. Bagaimana pengelolaan dan konsep TPST di empat tersebut? Apakah akan menggunakan sistem yang sama dengan TPST Piyungan yaitu open dumping? Pun jika iya, maka sekali lagi saya katakan pemerintah selalu setengah hati untuk berbenah menanggulangi masalah sampah. Dan tentu kita akan berkelindan lagi dan lagi dengan persoalan sampah yang tak kunjung usai. Sebab, segala upaya yang dilakukan adalah upaya pragmatis dan sementara.

Ayu Cellia

Editor: Luisa


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *