Gedung itu besar dan kokoh, bahkan terik matahari tak mampu mengalahkan keagungannya. Warnanya putih tulang. Tiga atau empat lantai, aku tidak tahu pasti. Di hadapannya terdapat dua pilar raksasa penyangga kubu depan. Tumpukan vertikal menurun ditutup dengan atap berbentuk limas. Kompleks dan sulit ditebak.
Saat ini, matahari di atas ubun-ubun. Aku memasuki pelataran yang lengang. Di hadapanku terhampar luas jalan menuju tangga yang bermuara pada dua arah bertolak belakang. Di atas tangga terpampang besar ujaran “PENDIDIKAN INVESTASI PERADABAN”. Aku tersenyum kelu. Memandangi kalimat itu aku dibuatnya termangu. Haruskan kulanjutkan? Ataukah kulepaskan?
…
Saat di kelas terkadang aku memikirkan ibu. Suara dan eksistensi manusia di sekitarku menjadi semu. Terbayang bentakan yang menggelegar beserta barang pecah belah. Sebelum itu aku menolak untuk melihat apa yang terjadi di rumah. Tetapi tiba-tiba saja terngiang bagaimana benda tajam itu dapat menyakiti ibu.
Imajinasi itu berubah menjadi realisasi yang mengerikan. Aku langsung bangkit dari bangku menyeret tasku keluar kelas. Dosen yang sedang menjelaskan dan mahasiswa lain tercengang melihat tindakanku.
“Arya….” Terdengar ujaran yang ragu-ragu. Namun sudah jauh kewarasanku kutinggalkan di kelas tadi.
Siang itu aku pulang. Rumah terlihat usang dan sunyi. Tidak ada sedikit suara yang masuk ke telinga walau jelas sudah banyak yang terjadi di tempat tinggal manusia sengsara ini.
Aku memasuki rumah dengan berhati-hati. Sepi tapi lebih hancur lagi. Perabotan berserakan, buku berhamburan, vas bunga pecah. Kediaman yang sangat berisik.
“Ibu…” aku memanggil ibu. Tidak ada jawaban.
Aku lalu memasuki kamar tidur ibu di ujung lorong. Di sanalah dia, duduk terdiam di atas kasur dengan rambut kusut dan mata lebam. Tubuhnya lemah, kurus, dan tidak terawat. Wajahnya kosong dan pucat seperti jasad kehilangan jiwa.
Aku lalu berlari menghampiri dan memeluknya erat. Dengan suara lirih ibu berkata
“Ayahmu. Dia pergi meninggalkan kita”
Duniaku terbalik seketika. Sebelumnya kehidupanku cukup normal. Anak tunggal dengan latar belakang berkecukupan yang tidak risau akan penghidupan. Ayah adalah pencari nafkah tunggal dalam keluarga. Entah apa alasan ayah pergi, akupun menolak untuk membuka mata dengan permasalahan yang terjadi di rumah. Bulu kudukku berdiri jika teringat dengan teriakan yang bersahutan serta pecahan kaca yang memekakkan telinga. Jadilah aku kabur dari rumah walau tanpa tujuan. Terkadang menumpang kos teman, terkadang menggelandang.
Ayah benar-benar menelantarkan kami. Dia membawa seluruh miliknya dan tidak meninggalkan sepeser pun. Jadilah peran pencari nafkah beralih kepadaku. Aku mulai mengambil pekerjaan part-time di sebuah kafe sembari bekerja sebagai ojek online untuk memenuhi kebutuhanku dan ibu. Kondisi ibu tidak baik. Masih sering menangis dan mengurung diri di kamar. Ibu juga sering menolak untuk makan. Aku sangat khawatir akan kondisinya. Aku takut ibu jatuh sakit.
Sejujurnya aku juga ingin mengurung diri di kamar dan menangis. Aku kehilangan kedua orangtuaku dalam seketika. Tapi aku harus bisa mengesampingkan kesedihan ini karena kelangsungan hidupku dan ibu ada di tanganku.
Situasi ini membuatku luput akan perkuliahan. Dalam satu titik aku merasa tidak mungkin bisa melanjutkan kuliah lagi, tetapi setiap setelah bekerja, aku merasakan bagaimana seluruh tenaga dan pikiranku terkuras gila. Kelelahan yang mendera tidak sudi kujaga dalam waktu yang lama. Aku tidak mau menjadi pesuruh selamanya. Ibu pun mulai menyadarinya. Dia meminta padaku untuk tidak meninggalkan bangku perkuliahan. Masalahnya adalah uang kuliah yang harus dibayarkan tidak lagi sesuai kemampuan. Sempat terpikir olehku untuk mengajukan beasiswa. Namun, ternyata pengajuannya juga tidak mudah untuk situasi darurat. Tidak semua orang bisa mengajukan beasiswa. Hanya beberapa dari orang yang punya relasi dengan dosen, atau akses informasi yang mumpuni yang bisa mendapat beasiswa.
Saat ini ibu yang mengalah. Ibu berhutang untuk bisa menutupi biaya UKT. Dia mengatakan padaku untuk jangan khawatir mengenai pelunasan utang tersebut. Semua aman terkendali. Belakangan kuketahui bahwa ibu menjual seluruh perhiasannya agar bisa membayar hutang tersebut.
Jadilah aku bisa berkuliah untuk semester kedua. Saat aku menjalani perkuliahan, kupikir aku tidak bisa merepotkan ibu selanjutnya. Aku lalu menambah jam kerja agar uang yang terkumpul cukup untuk membayar uang semester depan. Hal ini menyebabkan aku harus meninggalkan beberapa kelas perkuliahan untuk bekerja. Kuliah untuk bekerja atau bekerja untuk kuliah, aku sudah tidak tau lagi.
Pernah suatu waktu ketua kelas mengirimkan pesan padaku
“Arya, kamu kenapa tidak masuk kuliah?” tanya dia
“Aku harus kerja” Jawabku
“Oh, baiklah”
Sesingkat itu jawabannya. Aku ingat waktu itu sedang ada kerja kelompok dan ada yang bertanya tentang kondisiku
“Kamu kenapa kemarin tidak masuk kelas lagi?”
Aku tidak ingin menjawabnya. Mereka tidak akan mengerti. Seseorang yang keluar rumah tanpa beban apa-apa, seseorang yang tidak berpikir apakah besok bisa makan, seseorang yang bisa membayar uang kuliah dengan mudah. Aku melihat mereka sekali lagi dan mempertanyakan diriku. Apa yang kuperbuat sehingga takdir begitu kejam padaku? Apakah mereka manusia luhur dan aku biadab? Bahkan saat ketidakpedulian mereka membunuhku?
Masa bodoh dengan mereka! Akhirnya juga aku yang harus menanggung derita ini. Aku harus memutar otak agar bisa membayar uang kuliah.
Berangkat dari kesadaran itu, aku memutuskan untuk mengajukan penurunan UKT. Beberapa berkas kubawa ke biro umum perencanaan dan keuangan Rektorat. Dalam proses ini aku tidak bisa berkutik, tidak bisa aku bilang diabaikan atau dikecewakan. Namun, aku tersesat dalam mekanisme yang kacau dan membingungkan. Sampailah aku di depan wakil rektor bagian perencanaan dan keuangan setelah sebelumnya aku di oper-oper ke berbagai pihak. Penurunan yang aku ajukan diberatkan untuk dikabulkan. Alasannya karena perceraian orang tua dirasa tidak menghasilkan perubahan yang spesifik dalam kondisi finansial. Kriteria yang tercantumkan sebagai alasan penurunan UKT antara lain mahasiswa semester akhir yang sudah bebas teori, dan mahasiswa yang mengalami penurunan ekonomi karena orang tua meninggal.
Aku kecewa besar atas kebijakan yang keluar. Padahal aku juga kehilangan orang tua. Ayahku tidak pernah hadir, dia sama saja mati bagiku. Tetapi mereka hanya mengeneralisir penyebab dan memperkecil kompleksitas dalam kehidupan tiap orang. Seakan-akan semua akan lebih sederhana jika berurusan dengan yang masih bernyawa. Tidak ada masalah yang buruk serta kesulitan yang sepadan.
Aku terduduk lemas setelah keluar dari kantor biro umum dan perencanaan. Seorang mahasiswi masuk ruangan dan langsung menuju resepsionis. Kurasa dia bukan orang baru. Langkahnya mantap dan tidak ada keraguan dalam gesturnya. Seakan ruangan ini adalah teman akrabnya.
“Ardin, kamu datang lagi?” Kata resepsionis itu. Jelas bahwa mahasiswi itu bukan wajah baru disini. Mereka lalu berbincang sebentar sebelum akhirnya mahasiswi itu, Ardin, memasuki ruangan biro keuangan.
Setelah itu aku sempat berkenalan dengan Ardin. Dia lebih tua dariku satu tahun, sekarang kuliah semester empat. Kondisi Ardin tidak jauh berbeda dariku. Selama empat semester ini dia selalu bolak-balik Rektorat untuk pengajuan penurunan UKT.
Ardin merasa ada kesalahan sistem saat penggolongan UKT. Dia diberi UKT III yang jauh dari kemampuan. Orang tuanya menghidupi diri dengan bertani, sedangkan dia anak pertama dan masih memiliki tiga adik yang juga butuh disekolahkan. Pengajuan Ardin sempat dikabulkan dan UKT nya diturunkan sebanyak 500 ribu. Jumlah itu tetap membebankan baginya. Setelahnya dia terus mengajukan penurunan tanpa kenal menyerah.
Aku bertanya pada Ardin apa yang membuatnya pantang menyerah dengan situasinya, sedangkan aku sendiri kesabarannya sudah menipis.
“Aku ingin memutus lingkaran setan kemiskinan yang sudah terlalu larut dalam keluargaku.” Ucapnya dengan tegas.
Ardin sempat mendapat bantuan dari teman sekelasnya berupa iuran untuk meringankan biaya UKT.
Ardin mengatakan kalau dia merasa bersalah menerima dana tersebut.
“Bukankah mereka yang dengan sukarela membantumu?” Ujarku. Hampir saja aku membandingkan kondisinya dengan teman-temanku yang tidak sama sekali berempati.
“Itu dia masalahnya, siapa yang tahu kalau mereka semua menyumbang dengan lapang hati? Bisa saja sebenarnya banyak yang tidak ikhlas. Aku tidak mau memaksa orang menjadi humanis ataupun beradab.”
Aku termangu mendengarnya. Rasionalitas yang tidak pernah terpikirkan olehku.
“Lagi pula cara itu tidak menyelesaikan masalah. Situasi ini harus ditangani dari akarnya. Kalau tidak seperti itu, dimana tanggung jawab kampus ini?” Lanjutnya.
Aku bercerita kepada Ardin mengenai sikap teman-temanku. Aku merasa sangat sendirian dan terpinggirkan.
“Kurasa apa yang terjadi padaku tidaklah adil. Aku tidak bisa menjamin diriku menjadi orang yang lebih baik jika aku tidak kehilangan, tapi tetap saja ini tidak adil. Fakta bahwa aku harus menghadapi ini sendirian. Teman-temanku tidak peduli, ibu sama kacaunya denganku. Aku datang kesini dengan sisa-sisa harga diriku, mengakui ketidakmampuanku. Itupun masih tertolak.” Aku berkeluh kesah di depan Ardin. Orang yang baru kukenal sepuluh menit lalu.
Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Bahkan tidak satupun kata keluar dari mulutnya, tapi kurasa dia mengerti. Mata yang sendu dengan sedikit kerutan di dahi. Aku melihat rasa pedih dari jendela jiwa itu. Meskipun ini deritaku, tragediku. Mungkinkah ini tragedinya juga? Aku hanya bisa menerka. Tapi kurasa dia paham.
Setelah itu aku dan Ardin sering bertemu. Kami sama-sama berjuang untuk melanjutkan pendidikan dan saling membantu. Dia selalu mencari informasi penurunan lewat KIP atau beasiswa. Kami saling bertukar informasi mengenai hal tersebut. Aku juga mengajak Ardin bekerja sembari mencari lowongan pekerjaan lain.
Aku selalu ikut dengannya dalam upaya penurunan uang kuliah. Hasilnya masih nihil. Tingkat birokrasi manapun sudah kami coba untuk pengajuan. Mulai dari mengunjungi rektorat tiap minggunya untuk mencari skema yang berpotensi mengabulkan keringanan, mencari informasi dari fakultas, hingga berkonsultasi ke kaprodi sendiri.
Hari itu aku menemani Ardin berkonsultasi sekaligus meminta solusi permasalahan UKT ke dosen pembimbing akademik. Alasannya karena merupakan perwakilan birokrat yang paling dekat dengan mahasiswa. Walau kecil kemungkinan mendapat solusi, tetapi Ardin bersikeras untuk tetap membicarakan hal ini. Dia berharap aspirasinya dapat tersampaikan ke pihak yang lebih tinggi.
Aku menunggu di luar kantor prodi. Sesekali aku mengintip kedalam penasaran. Hanya samar-samar yang terlihat. Sudah lewat dua puluh menit. Aku tidak mengira akan selama ini. Lelah menunggu, aku duduk di kursi samping kantor. Aku menghentak-hentakkan kaki mulai penasaran akan apa yang terjadi.
Lewat tiga puluh menit. Seorang lelaki paruh baya melengang keluar dari kantor. Langkahnya berat dengan dagu yang diangkat. Di belakangnya Ardin kelalapan mengejar.
“Sebentar pak!” Panggil Ardin dengan ngos-ngosan. Lelaki itu mengulurkan lima jari tangannya di hadapan Ardin untuk menghentikannya.
“Sudah mbak…. Sudah. Saya jelas-jelas tidak bisa membantu. Kamu berdoa saja biar diberi kemudahan.”
Bapak berlalu dengan acuh meninggalkanku dan Ardin tercengang.
Kami pergi dari kantor prodi. Sepanjang perjalanan sunyi. Aku tidak ingin memaksa Ardin menceritakan hal yang baru terjadi. Wajahnya datar, mungkin kecewa, sudah pasti banyak pikiran.
“Berdoa katanya…” Ujar Ardin tiba-tiba.
“Matahari tidak terbenam oleh kata-kata, dan bulan tidak bersinar hanya karena cinta. Apa dengan doa saja semua bisa selesai?”
Mungkin ini kata-kata paling tidak beradab yang keluar dari Ardin, tapi aku paham maksudnya. Hanya dengan mendoakan tidak cukup, harus ada tindakan. Seperti rejeki yang tidak datang dengan sendirinya, harus dijemput dan diusahakan. Namun, setelah dipikir-pikir ada benarnya juga. Mungkin Ardin kurang banyak berdoa. Dia terlihat selalu kokoh sehingga lupa untuk meminta, lupa untuk menyadari bahwa dia lemah.
Tidak! Mungkin aku saja yang sudah menyerah sehingga berpikir begitu. Tidak, tidak…. Bukan begitu! Toh memang aku perlu banyak berdoa kan? Akhh!!! Aku tidak tahu, dan aku tidak mau mengatakan ini kepada Ardin. Pada akhirnya dia juga pasti akan berdoa. Saat dia sudah sangat putus asa.
…
Ardin pernah menjual mimpinya padaku. Aku ingat sore itu kami berbincang. Dia seperti baru mendapat pencerahan.
“Setelah kupikir-pikir, Aku tidak bisa menyalahkan teman-temanmu.” Dia memantik diskusi. Aku mengangkat wajah tertarik dengan ujarannya.
“Ignoransi kita terhadap isu-isu yang ada, nihilnya kesejahteraan, orang-orang yang termajinalkan. Segalanya adalah produk dari sistem pendidikan kita yang tidak humanis dan empatis. Yang diajarkan hanya formalitas dan kepuasan sendiri. Itu berbahaya, kepuasan pribadi itu berbahaya.”
“Padahal pendidikan seharusnya punya kekuatan. Kita sebagai orang berpendidikan punya hak untuk berbicara, mengakses bacaan, mendapatkan ilmu yang berpengaruh. Ironinya kita seperti bangsa yang dikerdilkan. Dipaksa untuk patuh, didorong ke sistem formalitas yang tidak menghasilkan apapun kecuali sekawanan robot pekerja.”
Aku mencerna setiap kata. Terlalu berharga untuk dilewatkan.
Lalu Ardin berpaling menatapku dengan antusias. “Jangan mau terperangkap dalam sistem bobrok. Harus ada yang menghentikan siklus ini.”
Kita. Jawabannya adalah kita yang harus menghentikannya. Kita dan seluruh anak bangsa pemimpin masa depan.
Aku mendapat kesadaran akan sebuah tujuan eksistensiku, alasan perjuanganku. Ardin berhasil menjual mimpinya padaku. Sejak saat itu, landasanku jelas, tujuanku pasti, langkahku makin mantap, dan aku tak akan menyerah. Aku ingin menjadi bagian dari perubahan, maka aku mencoba lebih keras lagi.
Aku jadi lebih semangat bekerja mengumpulkan uang untuk pendidikan. Aku tidak mau Ibu mengorbankan asetnya lagi. Selain itu aku juga menjadi lebih fokus pada studiku, aktif di kelas, membaca banyak buku referensi, serta memaksimalkan pengerjaan tugas. Menjelang pertengahan semester, aku mendapat pekerjaan mengajar les. Aku sangat senang karena tidak hanya mendapat upah untuk menambah tabungan, Aku juga bisa memanfaatkan ilmu yang kudapat.
Bulan demi bulan berlalu. Aku membawa kepercayaan yang tersematkan setiap harinya. Ini membuatku bisa bertahan menjalani perkuliahan. Waktu liburan yang tidak seberapa juga aku luangkan untuk mencari pendapatan, menabung uang kuliah. Tidak mudah, bahkan setelah bersusah payah dana yang terkumpul belum cukup.
Aku tidak berencana untuk menyerah. Aku harus mendapatkan keadilan untuk uang kuliah yang sesuai dengan kemampuan. Maka saat jadwal pembayaran UKT, aku mencoba untuk mengajukan penurunan sekali lagi. Seharusnya para birokrat menyetujui penurunan jika menengok kondisiku. Aku berharap mereka bisa paham.
Aku duduk di lobi depan gedung rektorat. Beberapa dokumen kupegang erat di tanganku. Ardin seharusnya sudah datang dari tiga puluh menit yang lalu, tapi hingga sekarang batang hidungnya belum terlihat juga.
Lalu terlihat seorang wanita berjalan mendekat. Dia menyeret badannya setengah hati, wajahnya tertunduk dengan lesu.
“Ardin!” sapaku
Dia mengangkat kepalanya sedikit, menatapku.
“Loh, kamu tidak bawa dokumen? ”
“Aku minta maaf. Sepertinya aku sampai di sini saja” Jawab Ardin.
Aku mengerutkan dahi, tidak bisa memproses perkataannya dengan jelas.
“Maksudmu apa? Kau mau berhenti kuliah?”
Ardin menarik napas dengan berat. Dia bahkan tidak menyangga. Aku menggeleng kuat, menolak pernyataan barusan.
“Tidak! Jangan menyerah, Din. Kau sudah sejauh ini. Apapun hambatannya, kita cari solusi bersama.”
“Situasiku sangat sulit, Arya. Aku sudah berusaha menuntut penurunan, bekerja untuk mengumpulkan uang, tapi itu tidak cukup. Orang tuaku hanya punya sebidang sawah, dan mereka berniat untuk menjualnya demi melunasi UKT. Aku tidak bisa membiarkan mereka melakukan itu. Aku punya tiga adik yang masih kecil dan juga butuh sekolah. Aku harus rasional dan mengalah.” Sendu sekali dia menjawab. Tapi aku tidak bisa membiarkannya menyerah. Dialah yang meniupkan jiwa padaku. Memberiku kekuatan untuk berjuang dan bertahan. Dia punya potensi yang lebih tinggi dibandingkan kebanyakan orang jika saja mereka mau melihat.
“Tetap saja Din, tidak adil jika kau menyerah begitu saja. Apakah kau ingat dengan keinginanmu merubah sistem pendidikan yang bobrok ini? Harus ada yang memutus siklus yang…”
“Jangan bodoh!” Aku terdiam mendengar bentakan Ardin.
“Jadilah sedikit rasional! Membayar UKT saja kita tidak mampu, Apalagi mengubah seluruh sistem pendidikan. Kau pikir kita siapa?! Kita tidak bisa apa-apa, Arya!” Frustasi yang berkecamuk dan seluruh amarah yang dikeluarkan Ardin membuatku terperanga. Dia mengakui kelemahan dan ketidakmampuan yang selama ini ditutupinya. Tergambar dalam sudut mataku sebuah keputusasaan yang sudah mencapai batasnya.
Dia menarik napas panjang. Pastilah ini bukan keputusan mudah untuknya. Amarahnya cepat berganti dengan perasaan bersalah yang tergambar diwajahnya.
“Maafkan aku, Arya. Aku tidak mau gagal menjadi seorang kakak. Aku harus menyerah.” Dengan begitu dia menyeret kakinya pergi. Aku menatap punggungnya dari belakang yang berangsur menjauh meninggalkanku beserta semua mimpi yang pernah dibangun.
…
Gedung itu besar dan kokoh. Bahkan terik matahari tak mampu mengalahkan keagungannya. Lambang kekuasaan dan di mana masa depan anak bangsa dipertaruhkan. Aku tidak kuasa menembus tebalnya dinding otorisasi, tapi aku enggan menyerah pada takdirku.
Hari ini aku berdiri di persimpangan takdir. Dihadapan tangga raksasa yang bermuara pada dua arah bertolak belakang. Di tengahnya terpampang ujaran “PENDIDIKAN INVESTASI PERADABAN.” Kata-kata berkecamuk dipikiranku. Hari ini aku akan berjuang. Hari ini aku akan menyerah.
Selembar kertas kukeluarkan dari tas punggungku. Kurasa tidak ada tempat lain yang bisa menanggung deritaku. Melalui pena, aku mencurahkan mimpi Ardin, harapan untuk masa depan, dan seluruh hidupku. Segalanya tertuang dalam selembar kertas yang kulipat menjadi pesawat.
Disebabkan ketidakmampuanku, aku menitipkan segalanya melalui pesawat kertas. Inilah akhir tragediku. Pesawat kertas itu terbang menembus kekebalan diktatorat dan membawa seluruh mimpi, harapan, dan masa depan.
Penulis : Annaila Azzahra
Editor : Fita