Magang.ekspresionline.com – Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) perlu memperbaiki sistem demokrasi yang anti-kritik. Lembaga sekelas universitas kependidikan dengan jumlah mahasiswa yang nyaris sepuluh ribuan ternyata masih buruk dalam mengatasi permasalahan substansial ini. Masalah-masalah dasar bab kebebasan berpendapat mahasiswa seharusnya sudah tidak perlu dibahas apabila regulasinya sudah baik.
Namun, UNY buruk sekali perihal ini. Beberapa mahasiswa yang mengikuti aksi di kampus pernah mendapatkan represi dan intimidasi dari berbagai pihak seperti dosen jurusan dan bahkan langsung dari birokrasi.
Bentuk Represi dan Intimidasi
Represi dan intimidasi dari pihak dosen jurusan dialami langsung oleh salah satu mahasiswa program studi Pendidikan Kepelatihan Olahraga berinisial A, sesaat sebelum dirinya membersamai aksi simbolik bertajuk “Revolusi Pesawat Kertas” pada Januari lalu. Aksi simbolik tersebut memberikan desakan bagi birokrasi untuk menyetujui beberapa tuntutan dan disertai kajian data yang berkaitan dengan buruknya sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di UNY.
“Entah aku yang terlalu berlebihan atau gimana, satu hari sebelum aksi, aku ditelepon sama sekretaris jurusan tapi gak aku angkat. Sempat dichat juga sama dosenku, diminta jangan ikut-ikutan aksi. Bahkan admin jurusan juga menghubungi aku. Sebelum ke rektorat, aku juga dibuntuti sama dosenku itu. Tasku ditarik dan dimarah-marahi, kemudian kami cekcok. Intinya bilang kalau menyampaikan aspirasi caranya bukan dengan aksi begini…”
Mahasiswa berinisial A mengaku tidak hanya mendapatkan tekanan pada aksi hari itu saja, melainkan juga pada aksi-aksi pada tahun sebelumnya. Ia bahkan sempat diminta untuk datang ke kantor fakultas untuk menemui beberapa dosen lain. Artinya, intimidasi tersebut berkemungkinan besar sudah menjadi budaya yang turun-temurun terjadi tiap kali diadakan aksi.
Pada kasus lain, represi dilakukan dalam bentuk pelacakan mahasiswa yang berkomentar miring di sosmed tentang isu UKT. Menurut postingan di akun base Twitter @UNYmfs pada Januari lalu, pelacakan dilakukan melalui dosen yang mencari mahasiswa pemilik akun yang berkomentar miring. Selain itu, rektor UNY juga sempat menyampaikan di orasinya, bahwa beliau bisa saja menyadap meskipun pada akhirnya tidak ia lakukan.
Ancaman dalam bentuk skors dan DO hanya dilontarkan guna menakut-nakuti mahasiswa. Pasalnya, menurut kesaksian A, berbagai bentuk konfrontasi dan intimidasi dari pihak UNY tidak ada yang benar-benar terjadi. Lagi pula, apabila benar-benar dilakukan, kampus tentu tidak memiliki dasar hukum yang cukup. Menyampaikan pendapat secara demokratis akan tetap mendapatkan perlindungan hukum. Setidaknya apabila kampus tidak memfasilitasi dalam peraturan yang dibuatnya, perlindungan hukum bisa berlandaskan UUD 1945.
Bobroknya Praktik Perlindungan Hukum Kebebasan Berpendapat
Sebagai universitas yang memiliki visi sebagai universitas kependidikan kelas dunia yang unggul, kreatif, dan inovatif berkelanjutan, menjadi mahasiswa yang kritis dalam menyikapi segala hal adalah suatu keharusan. Salah satunya dalam bentuk menyampaikan pendapatnya di muka umum.
Kebebasan berpendapat bagi rakyat Indonesia bahkan punya perlindungan hukum yang kuat. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28, berisi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan sebagai Undang-Undang.” Pada pasal berikutnya, yakni pasal 28E ayat (3), berisi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Dari kedua pasal tersebut saja, dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat seseorang memang terjamin secara undang-undang. Lebih jauh lagi, seharusnya memberikan kecaman atas kegiatan berpendapat tentu tidak dibenarkan.
Peraturan Rektor UNY nomor 03 tahun 2009 yang membahas tentang etika dan tata tertib pergaulan mahasiswa di kampus, terdapat pasal yang bisa digarisbawahi untuk menekankan pentingnya demokrasi, terkhusus pada proses pentingnya berpendapat.
Bab VI, menjelaskan tentang hak dan kewajiban mahasiswa. Pada pasal 8 poin kedua, “Setiap mahasiswa memiliki hak untuk mengemukakan pendapat atau ide tanpa mengganggu hak orang lain dan ketertiban umum.” Lucunya kampus ini tidak melindungi hak asasi mahasiswa untuk berpendapat, mereka justru merampasnya. Secara tidak langsung, kampus pembuat aturan ini ingkar terhadap hal yang mereka buat sendiri.
Aksi yang diadakan mahasiswa secara garis besar selalu dilakukan dengan cara-cara kekeluargaan. Maka poin mengganggu hak orang lain dan ketertiban umum bukan menjadi pertimbangan. Tuntutan yang diajukan dalam aksi pun punya tujuan audiensi demi solusi konkret. Massa aksi juga hadir karena arahan dosen tentang cara alternatif konservatif tidak menghasilkan jawaban pasti, melainkan hanya jawaban diplomatis.
Oleh sebab itu, sebenarnya UNY sudah memiliki dasar aturan yang baik dan sejalan dengan UUD 1945, hanya saja penerapannya sungguh bobrok dan mengecewakan. Padahal bagaimana yang terjadi di lapangan adalah titik terpentingnya. Esensi dari demokrasi sendiri menekankan bahwa segala keputusan penting diambil berdasarkan suara mayoritas. Segala bentuk tekanan yang ditujukan pada mahasiswa aksi sangat bertolak belakang dengan aturan yang birokrasi buat tentang kebebasan berpendapat. Semakin jelas bahwa UNY tidak mampu memenuhi standar hukum hak asasi demokrasi mahasiswanya.
Faradella Buraira
Editor : Fita