Magang.ekspresionline.com-“Tetepan mar, ga adil C itu buat manusia-manusia ga ngerjain tugas tapi hadir di kelas. Kita kan ngerjain.” Ujar seorang mahasiswi yang pusing mendapat nilai c.
Tidak terasa tahun telah berganti, begitupun kegiatan perkuliahan kita. Pergantian tahun menandai juga pergantian kegiatan perkuliahan para mahasiswa selama satu semester yang lalu. Namun di kampus tercinta kita ini, mungkin juga kampus lainnya, justru pergantian tersebut malah membuat mereka pusing atau malah bisa depresi. Seperti pusing membayar uang UKT (Uang Kuliah Tunggal) untuk semester berikutnya, skripsian yang tidak kunjung kelar, atau judul selalu ditolak.
Tapi disini penulis tidak akan mengulas masalah itu, melainkan satu masalah yang sangat menarik dan bahkan paling penting dari kegiatan akademik kita selama kuliah. Jadi yang akan kita bicarakan disini adalah mengenai kinerja dosen. Tak dapat dipungkiri, para dosenlah yang paling berpengaruh selama kita berkuliah. Bahkan para dosenlah yang menjadi dalang dibalik kita lulus cepat atau lambat selama kuliah.
Beberapa hari lalu ada yang bertanya kepada saya tentang nilai salah satu mata kuliah di semester satu. Setelah saya jawab nilai yang saya dapat dia seperti tidak heran dengan nilai tersebut. Lantas aku bertanya mengenai pendapatnya terhadap nilai dan dosen yang mengampu mata kuliah tersebut. Menurutnya pemberian nilai tersebut menunjukkan bahwa dosen tidak adil dalam mengajar dan menilai mahasiswa. Pasalnya menurut dia kita selalu hadir di kelas dan mengerjakan tugas yang diberikan, seharusnya minimal kita diberi nilai b.
Setelah mendengar tanggapan tersebut ada beberapa poin-poin yang penulis pikirkan. Dari mana temanku ini menilai kinerja dosen sehingga ia mengecap dosen tersebut berbuat tidak adil. Lalu bagaimana dia bisa tau kalau mahasiswa yang mengerjakan tugas dan hadir di kelas minimal pantas diberi nilai B. Karena bukankah sudah menjadi rahasia umum kalau setiap dosen memiliki kriteria tersendiri dalam menilai mahasiswanya. Anggapan bahwa seorang dosen tidak boleh melibatkan perasaan pribadi dalam menjalankan profesinya, sehingga dapat memicu kesalahan atau bahkan kecurangan dalam mengajar atau menilai akibat dari perbuatan tersebut. Menurutnya, dosen tidak bisa bertindak seenak jidat dalam mengajar dan memberi nilai. Dosen seharusnya mendengarkan aspirasi dan melihat kinerja mahasiswanya secara lebih objektif.
Memang benar, penulispun juga melihat ada beberapa dosen yang mengajar sesuka hati. Bahkan saking seenaknya mereka membuat aturan-aturan untuk mata kuliah yang diajarkan berbeda dengan aturan yang ditetapkan fakultas maupun kampus. Beberapa contoh diantaranya ada beberapa dosen yang hanya ingin daring terus, padahal telah jelas ditetapkan bahwa aturan dari kampus perkuliahan dilaksanakan secara hybrid. Ada juga dosen yang seenaknya memberi tugas kepada mahasiswanya, lalu saat dunia membutuhkannya dia menghilang.
Penulis pernah menemui satu pernyataan unik dan menggelitik saat berselancar di salah satu platform media sosial. Mereka bertanya hakikat dosen memberikan tugas mahasiswa untuk membuat makalah dan power point materi satu semester itu untuk apa ? bukankah seharusnya dosen itu mengajar, bukan malah mahasiswanya yang mengajar. Dan benar penulis sendiri pernah mengalaminya. Saat teman sekelas penulis bertanya kepada dosen tersebut alasannya kita sudah bukan siswa lagi tapi mahasiswa, pola pembelajarannya sudah dengan metode andragoigi bukan pedagogi, jawab dosen itu dengan ketus. Tapi disitu letak masalahnya kita sendiri belum paham apa yang harus dilakukan ataupun dipahami sebagai pengantar pembelajaran mata kuliah tersebut. Teman-teman sekelas sangat menyayangkan sikap dosen yang seenaknya tersebut.
Setelah melihat perilaku dosen dengan segala macamnya tersebut banyak yang berpikir bahwa profesi dosen itu menyenangkan, dapat makan gaji buta. Tinggal lempar tugas lalu menghilang kata mereka. Ada bahkan dari mereka yang saat mahasiswa sangat membutuhkannya justru susah ditemui, bahkan katanya mereka tidak peduli meski negara api akan menyerang sekalipun.
Tindakan mereka yang seenak jidat tersebut mengingatkan penulis terhadap kelakuan diktator jerman berkumis kotak yang gagal menjadi seniman, atau bahkan seperti Mussolini yang mengancam para mafia Sisilia. Namun, terlepas dari kesalahan itu semua dosen tetaplah manusia. Mereka juga pasti memiliki sisi baik.
Penulis pernah menemui dosen dengan banyak selera humor, sehingga ketika ia mengajar para mahasiswa sangat senang dan tidak terbebani dengan mata kuliah yang diampunya. Ada juga dosen disela mengajarnya menceritakan tentang beberapa kisah konspirasi yang membuat para mahasiswa terangsang rasa keingintahuannya. Dan yang paling penulis sukai ada dosen yang memiliki sifat keibuan, sehingga ia mampu memaklumi kesalahan para mahasiswanya. Bahkan mau membuat ruang dialog bagi mahasiswa yang memiliki masalah akademik atau pribadinya.
Yah,pada akhirnya penulis bersyukur setelah banyak keruwetan selama satu semester ini akhirnya bisa melewatinya. Walaupun banyak dari teman menyayangkan pemberian nilai c serentak pada mahasiswa mata kuliah yang diampu salah satu dosen kami, dan hasil yang tak diharapkan lainnya, penulis sendiri bersyukur sudah diberi nilai tanpa melaksanakan Ujian Akhir Semester (UAS). Akhirnya penulis mampu dan bersiap untuk petualangan berikutnya. Banyak hal di dunia ini yang tak perlu diperdebatkan, apalagi hal sepele, tukar saja hal itu dengan penerimaan karena tidak semuanya berjalan sesuai keinginan kita.
Nrimo ing Pandum Kui Rapopo
Sik Penting Ojo Pasrah Marang Kahanan!
Rizqy Saiful Amar
Editor: Nugroho Kalis Nur Cahyo