Magang.ekspresionline.com–Pertanyaan saya tujukan untuk organisasi-organisasi mahasiswa yang sering membawa nama representatif sebagai perwakilan dari mahasiswa. Apakah hal ini menjadi suatu hal yang benar ?
Sebagai organisasi mahasiswa, maka tidak mungkin pula ia menjadi menara gading yang jauh dari sawah, atau hanya menjadi gading tak berguna saat di tengah-tengah sawah. Ia perlu mengimbangi keduanya, antara kampus dan kampung, antara ruang kelas dan pabrik-pabrik, antara laboratorium dan ruang-ruang kota termarjinalkan (Bima, 2017).
Pada 30 november 2022, KPU KM UNY (Komisi Pemilihan Umum Keluarga Mahasiswa UNY) menyelenggarakan “Debat#2 calon ketua dan wakil ketua BEM KM UNY 2023”. Forum ini adalah serangkaian dari acara Pemilwa (Pemilihan Umum Mahasiswa). Tujuannya yaitu untuk menguji seberapa tangguhnya para paslon.
Menariknya, pada debat kedua ini, KPU KM UNY 2022 mengangkat isu kesejahteraan mahasiswa. Isu yang diangkat tak lain dan tak bukan adalah isu-isu yang dekat dengan mahasiswa seperti UKT UPPA, PTN BH, Kekerasan Seksual, KKN PK, dan masih banyak isu lainnya.
Retorika Isu Populis
Retorika dikeluarkan oleh kedua pasangan calon untuk berkomitmen dalam mengawal semua permasalahan tersebut. Menariknya lagi, isu-isu tersebut dianggap menjadi barang dagang oleh para paslon agar menarik hasrat mahasiswa.
Hal ini memicu kemarahan dari beberapa pihak. Salah seorang yang mengkritik ini adalah Ganta, panelis satu.
“Kalok dibilang kampus itu adalah cerminan dari pemerintah, aku melihat itu sekarang. Aku melihat, orang-orang yang berkampanye di depan aku yang dulunya gak pernah muncul, tapi tiba-tiba omong besar untuk beberapa isu. Kemarin-kemarin ke mana aja?” ujar Ganta sambil memegang mikrofon.
“Apakah isu-isu gede kemudian temen-temen jual pas Pemilwa? Kemudian temen-temen jual di sini untuk bahan kampanye? Bahkan, isu-isu kecil tak diurusin. Kemarin baru ada yang meninggal tersengat listrik karena fasilitas kampus dan dulu-dulu ada yang meninggal juga karena transportasi publik yang gak memadai di kampus wilayah. Ada yang mati! Dan kita keren-kerenan di sini, sok-sok jadi pemerintah mahasiswa!” lanjutnya.
Saya sepakat dengan apa yang Ganta ucapkan. Logikanya, ketika mereka menyuarakan banyak isu besar, mereka melupakan isu-isu kecil yang seharusnya di advokasi terlebih dahulu. Dengan begitu, bagaimana bisa mahasiswa percaya kepada representasinya jika isu-isu kecil saja tak teradvokasi ?
Akan tetapi, sialnya isu-isu kecil yang seharusnya disuarakan malah tidak tersebut. Sempat dicontohkan oleh ganta mengenai permasalahan sabun yang sulit dijumpai di kamar mandi kampus.
Logikanya adalah ketika kalian sudah menyuarakan mengenai berbagai permasalah kampus apa yang sudah kalian perbuat untuk isu-isu ini, sebelum kalian menjadi representatif mahasiswa? Jikalau para calon imam ini belum melakukan apapun sama saja sampah.
Problem Representatif di UNY
Problem representatif ini bukanlah problem sembarangan. Pasalnya para representatif menggunakan semua nama mahasiswa untuk mengambil sebuah keputusan. Artinya, keterlibatan mahasiswa secara umum di sini haruslah inklusif.
Pengambilan keputusan dilakukan dalam unit paling kecil dari federasi, melalui praktik demokrasi langsung dengan mengutamakan konsensus, atau yang kita kenal sebagai musyawarah untuk mufakat (Bima, 2017).
Berkaca pada penjelasan Bima, musyawarah mufakat adalah wujud demokrasi untuk mencapai konsensus. Meski demikian, UNY menggunakan Pemilwa sebagai wujud demokrasi dalam memilih imamnya sebagai representatif.
Kemudian, mekanisme perhitungan dari pemilwa ini sendiri adalah suara terbanyak yang akan menang (suara mayoritas). Mari kita coba buat kalkulasi perhitungannya dengan data yang diperoleh dari KPU UNY sejak 5 tahun terakhir.
No | Nama | Tahun | Jumlah suara |
1. | Ryan Maulia Muhammad dan Azami Fadilah Akbar | 2022 | 11.636 |
2 | Muttawakil Hidayatullah dan Ahmad Amaanullah Robbana | 2021 | 12.176 |
3 | Bayu Septian dan Rofidah Qonitah | 2020 | 9.635 |
4 | Agung Wahyu Putra dan Jodi Rahmanto | 2019 | 8.793 |
5 | Rosyid Shidiq dan Naryanto Adi | 2018 | 9.427 |
Dari kalkulasi tersebut, bisa menjadi gambaran untuk memperkirakan jumlah pemilih UNY pada tahun 2023. Dilansir dari PDDikti, tahun ajaran genap 2022 terdapat sekitar 37.228, belum termasuk mahasiswa baru di tahun 2022.
Artinya, jika jumlah pemilih tetap mencapai 37.228. otomatis jumlah mahasiswa yang bisa menyumbangkan suara pada pemilwa nanti kurang lebih setengah dari itu harus memberikan suaranya (18.614). Agar logika suara terbanyak ini dapat menjadi representatif mahasiswa UNY.
Menarik dinantikan apakah pada pemilwa tahun ini jumlah mahasiswa yang memberikan suaranya akan mencapai angka sebanyak itu untuk menjadi syarat representatif, ataukah tidak? Jikalau belum, saya pikir pemilwa UNY belum bisa menjadi representasi untuk mendapatkan imam yang ideal.
Terlepas dari itu, suara minoritas pun juga sangat perlu untuk dimunculkan karena mereka juga memiliki porsi untuk mendapatkan hak mereka.
Apakah Student Government Sudah Berjalan dengan baik ?
Mahasiswa merupakan cendekiawan masa depan yang nantinya akan terjun ke dalam dunia nyata (masyarakat). Oleh karenanya, mahasiswa berorganisasi dengan membentuk student government.
Student government bertugas untuk menghidupkan jiwa intelektual para mahasiswa dengan berbagai agenda seminar, diskusi dan wadah pembelajaran mahasiswa di luar kelas ( Zainul Muttaqin, 2017).
Kemudian, apakah student government UNY sudah sejalan dengan apa yang dikatakan Zainul?
Bukan hal semacam itu yang bisa kalian temukan di UNY, melainkan ego sentris antarlembaga mengenai permasalahan program kerja dan tuntutan pembenaran masing-masing lembaga lalu menyebabkan konflik horizontal.
Ekslusifitas BEM yang sangat jarang mambaur dan membuka forum seluas-luas untuk mahasiswa membantu mengadvokasi permasalahannya sendiri.
Selain itu, kita sepakat jika BEM menjadi sebuah wadah buat mahasiswa untuk menyuarakan permasalahan untuk kaum-kaum yang termarjinalkan.
Namun, saya melihat belakangan ini malah terungkap menjilat lidah sendiri untuk corong kader partai. Hal ini dapat dilihat dari dua berita yang diterbitkan oleh LPM Ekspresi. Kedua berita tersebut berjudul Bias Keberpihakan Ketua BEM FIP UNY dan Para Anggota terkait Konflik Wadas dan Dugaan Manuver Ketua BEM FIP dalam GMC, Keseriusan untuk Aksi Wadas Apa Kabar?
Timbul sebuah pertanyaan di pikiran saya. Apakah lembaga ini representasi dari mahasiswa ataukah representasi dari birokrasi, ataukah representasi dari elit politis ? kita semua tak pernah tau.
Sumpah Sebagai Wujud Keraguan Mahasiswa
“Pakta Integritas, Dengan Rahmat Tuhan yang maha Esa .…“
Ya, kurang lebih sesuai dengan apa yang sudah kawan-kawan baca. Ini adalah sepotong sumpah yang sudah diucapkan oleh kedua paslon ketika “Debat#2 calon ketua dan wakil ketua BEM KM UNY 2023” sebelum mereka menjabat.
Sumpah ini menjadi acara pemeriah pada forum debat kala itu. Selain pemeriah, sumpah ini didasari keresahan kawan-kawan yang bergerak atas dasar solidaritas dengan tidak merasakan kinerja dari BEM untuk ikut andil bersolidaritas dari masa ke masa.
Kedua paslon yang menuturkan sumpah memang terlihat seperti elite-elit birokrasi. Namun, hal ini kita pilih agar setidaknya jika mereka tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang mereka kampanyekan mereka juga harus bertanggung jawab kepada Tuhan.
Selain itu, seorang panelis, yakni Gifari turut memeriahkan forum. Ia menuturkan, “Kita masih selalu khawatir dan kita masih selalu skeptis. Mengapa kita butuh BEM sebagai representasi mahasiswa?“
Seakan kalimat tanya yang terucap menjadi sebuah pertanyaan sekaligus tantangan untuk diberikan pembuktian. Apalagi, bila melihat esensi BEM KM saat ini sudah mulai bergeser.
Sekali lagi saya katakan, representasi ini bukanlah persoalan kecil. Siapapun kalian yang akan menjabat, buktikanlah tantangan dari Gifari.
Referensi
Putra, Bima Satria. 2017. MENGORGANISIR MAHASISWA ANARKIS PANDUAN SINGKAT UNTUK FEDERASI MAHASISWA. PUBLIKASI DARING. Federasi Mahasiswa Libertarian Salatiga.
Muttaqin, Zainal. 2017. “Menyoal Student Government dan Pemilwa UIN Sunan Kalijaga” Kompasiana ; daring 18.26.
Aldino Jalu seto
Editor: Feninda Rahmadiah