Magang.ekspresionline.com- Perempuan dalam panggungnya. Berusaha mengindahkan catcalling yang sudah dianggap lumrah pada ranahnya. Padahal, momok menakutkan bersembunyi dibalik gelak tawa.
“Catcalling yang dianggap lumrah ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan bagi korban. Sebagian besar masyarakat kurang memahami bahwa catcalling ini menganggu, bukan hanya hal sepele yang bisa dijadikan bahan bercanda atau sekadar iseng belaka,” tutur Cut Munika perwakilan UPT LBK UNY ketika dihubungi pihak magang redaksi pada Kamis (8/12/2022).
Permasalahan catcalling jika tidak segera ditindaklanjuti akan menjadi kasus pelecehan seksual yang berkelanjutan. Catcalling adalah tindakan yang dilakukan secara sadar oleh pelaku dengan mengucapkan kata-kata tidak senonoh pada suatu kesempatan. Kata-kata tersebut dilontarkan tanpa dosa dan menganggap hal tersebut adalah guyonan semata. Catcalling bukan hanya sebatas mengucapkan kata-kata tidak senonoh, tapi juga tindakan seperti bersiul, mengedipkan mata, dan tindakan genit yang dilakukan ketika seorang perempuan tengah melintas di suatu tempat.
“Hai cantik.”
“Suit suit …”
“Sini dong!”
“Bagi nomor dong!”
Serta masih banyak lagi lontaran kata-kata tidak pantas yang dilakukan oleh kebanyakan pelaku.
“Bahaya catcalling lebih cenderung memicu dari segi psikologis dan berpengaruh pada emosi korban. Korban akan merasakan perasaan takut, tidak nyaman, tidak mendapat keamanan ketika berada di luar rumah, serta perasaan malu akibat dari perbuatan catcalling. Dengan demikian, perbuatan catcalling ini bisa menjadi tindak pidana kesusilaan yang terjadi di ruang publik,” sambung Cut Munika.
Artinya, dampak dari catcalling ini tidak main-main. Trauma yang didapatkan oleh korban menjadi semakin besar jika pelaku terus-menerus melakukan tindakan tersebut. Mungkin pelaku menganggap catcalling hanya sebagai sebuah candaan belaka, tetapi perilaku tersebut menimbulkan dampak buruk bagi korban. Panggung inilah yang menjadikan perempuan sebagai ajang tontonan yang dipaksa untuk tampil. Sebagai bahan gelak tawa untuk para catcaller yang berkedok candaan semata.
Seperti kata Cut Munika bahwa catcalling ini dapat menjadi tindak pidana kesusilaan di ruang publik. Akan tetapi, keberpihakkan terhadap perempuan dalam RUU KUHP masih kurang memberi perlindungan. Budaya patriarki masyarakatlah yang membuat kejahatan seksual terhadap perempuan dipandang sebagai pelanggaran terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat saja. Tidak lebih dari itu, masyarakat kerap kali memandang jika terjadi kasus kekerasan seksual, maka hal tersebut merupakan salah dari perempuan itu sendiri.
Mengulas Satgas Kampus
Lagi-lagi perempuan yang dijadikan sebagai penadah ketimpangan yang membuat semakin muram. Tidak pernah bosan juga perempuan dijadikan sebagai penyair dalam sayatan luka yang dianggap hanya sepercik duka. Padahal, dalam Bahasa Sansekerta perempuan adalah mahluk yang memiliki kemuliaan atau kemampuan. Lantas kemuliaan manakah yang didapatkan perempuan jika menyangkut dirinya saja ia tak dilindungi dan masih dijadikan sebagai objek cemooh dan olok-olok.
Menurut survei yang dilakukan oleh American Seal, sebagian besar korban pelecehan catcalling adalah perempuan. Sebanyak 71% perempuan pernah mengalami catcalling dan 53% di antaranya mendapatkan pelecehan secara fisik. Tentu angka yang sangat tinggi dan menjadikan hal ini bukan lagi kasus biasa-biasa saja. Bagaimana mungkin dapat membayangkan rasa trauma yang diberikan oleh pelaku kepada korban jika masih banyak pihak yang menormalisasikan hal ini dan menganggap sebagai sensasi kurang sopannya perempuan dalam menjaga diri.
Jika berbicara mengenai pelecehan seksual, tentu terdapat acuan dan tameng yang melindungi perempuan dari hal tersebut. Dari lingkup kampus UNY sendiri, telah membuat Peraturan Rektor Nomor 6 tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual di UNY. Isi dari peraturan rektor tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di area kampus yang dilakukan oleh dan atau terhadap warga UNY.
Pada poin ketentuan umum, menyebutkan satuan tugas adalah bagian dari perguruan tinggi yang berfungsi sebagai pusat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di UNY. Akan tetapi, penanganan yang diupayakan oleh satgas kekerasan seksual UNY sendiri masih belum terlalu kompleks dan mendalam.
“Kebetulan dikarenakan satgas dibentuk pada tahun ini resminya, jadi untuk laporan yang masuk masih belum sebanyak itu. Tapi ada beberapa laporan yang sudah masuk dan sedang ditindaklanjuti,” kata Krisnina salah satu satgas kekerasan seksual UNY saat dihubungi pada Rabu (7/12/2022).
Dapat diambil kesimpulan bahwa pihak kampus juga lamban dalam pembentukan satgas kekerasan seksual di UNY. Hal inilah yang menyebabkan kurang optimalnya penanganan kasus kekerasan seksual serta lambannya penanganan di kampus UNY.
“Satgas sendiri belum memiliki acuan strategi yang ideal dalam penanganan kasus kekerasan seksual,” ujar Aldino yang juga anggota satgas Kekerasan Seksual di UNY.
Jika satgas yang dibentuk oleh kampus saja belum memiliki strategi yang mumpuni, maka hendak kemana para korban melayangkan aduannya? Kasus kekerasan seksual adalah kasus yang sangat rentan terjadi. Tidak peduli pada kampus manapun, jika penanganannya saja masih ogah-ogahan lantas berapa banyak lagi kasus yang hanya nongkrong di meja pengaduan. Hal tersebut tentunya menjadi refleksi satgas yang telah dipercaya oleh kampus untuk gencar mendobrak kasus kekerasan seksual mulai dari dasarnya seperti kasus catcalling.
Penanganan Menjadi Solusi
Mengenai penanganan kasus kekerasan seksual tentang catcalling menurut Cut Munika adalah dengan edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat agar tidak menormalisasikan catcalling. Adapun penanganan yang ditawarkan oleh pihak UPT LBK yaitu seperti podcast taylor maupun live Instagram dengan mengundang influencer yang bertujuan untuk memberikan edukasi mengenai kesehatan mental kepada masyarakat umum.
Penanganan yang ditawarkan oleh UPT LBK tersebut tentunya tidak mudah untuk diikuti masyarakat umum. Apalagi jika membicarakan mengenai kasus kekerasan seksual yang mereka anggap hanya sekadar catcalling semata. Tapi tidak ada salahnya jika memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat luas bahwa catcalling tidak bisa dianggap remeh. Karena catcalling juga dapat memberikan dampak negatif seperti trauma dan gangguan mental yang cukup berat bagi korban.
“Hal mendasar yang perlu ditanamkan pada masyarakat maupun civitas akademika UNY adalah membangun kesadaran bahwa perilaku catcalling bukanlah hal yang patut dinormalisasikan. Masyarakat perlu memahami dampak psikologis apa saja yang dapat terjadi pada korban. Harapannya, masyarakat akan berpikir dua kali untuk melakukan catcalling apalagi dengan dalih hanya iseng ataupun candaan semata,” tambah Cut Munika pada wawancara.
Jika menilik pada tanggapan Krisnina dan Aldino sebagai satgas kekerasan seksual di UNY, penanganan yang mereka dapat lakukan adalah dengan mendengarkan aduan dan tidak membatasi korban untuk menyampaikan keresahan mereka atas kasus pelecehan seksual catcalling ini.
“Penanganan yang dapat kita lakukan adalah dengan mengubah logika dari teman-teman yang menganggap catcalling bukanlah suatu masalah dengan cara melakukan diskusi, pendekatan melalui agama, ngobrol santai menganai catcalling dan memberi pemahaman bahwa catcalling adalah sesuatu yang salah,” tambah Aldino pada akhir sesi wawancara.
Alif Herlianti
Reporter: Rizki Awalliya, Feninda Rahmadiah, Aldino Jalu Seto, Alif Herlianti
Editor: Dhea Novia Utami