magang.ekspresionline.com – Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), kembali mengoptimalkan kegiatan perkuliahan usai kasus Covid-19 di Indonesia melanda. Ketika pandemi belum benar-benar berakhir, melalui surat edaran nomor B/31/UN34/PK.01.00/2022 pada Rabu, 22 Juni 2022, UNY menerapkan sistem pembelajaran secara hybrid. Surat edaran tersebut disahkan oleh rektor UNY, Prof. Dr. Sumaryanto, M.Kes. yang harus dijalankan oleh seluruh mahasiswa dan dosen.
Sistem perkuliahan ini memiliki prinsip 50 persen daring sementara 50 persen sisanya secara luring. Pada minggu pertemuan ganjil, mahasiswa dengan NIM ganjil akan mengikuti perkuliahan secara luring sementara mahasiswa dengan NIM genap daring, begitupun sebaliknya pada minggu pertemuan genap. Kebijakan ini lantas diterapkan sejak Senin, 29 Agustus 2022. Disusun sedemikian rupa, UNY berniat untuk menjalankan protokol kesehatan dengan pembatasan sosial baik bagi dosen maupun mahasiswa.
Menurut Amrih Setyo Raharjo S.Pd.,MPA, dasar pertimbangan pemberlakuan perkuliahan secara hybrid, tak lain karena Covid-19. Baginya, hybrid menjadi model transisi karena pandemi. Tidak ada yang tahu kapan Covid-19 akan berakhir, jadi menggunakan sistem perkuliahan secara hybrid merupakan sebuah bentuk kewaspadaan. Akan tetapi, pada akhirnya tidak semua dosen menerapkan kebijakan hybrid pada mata kuliah yang diampu.
Penerapan hybrid yang seharusnya setengah daring dan setengah luring, nyatanya tidak sesuai seperti apa yang tertulis pada surat edaran. Setiap dosen pengampu mata kuliah memiliki kebijakan tersendiri dalam model perkuliahannya. Ada yang menerapkan full daring dan full luring. Tidak jarang, pada hari yang sama terdapat beberapa mata kuliah dengan model pembelajaran yang berbeda, sehingga terjadi ketidakteraturan model perkuliahan.
Beberapa mahasiswa merasa keberatan terkait adanya ketidakteraturan dari kebijakan dosen mengenai model perkuliahan. Dalam wawancara (17/11/2022) Muhamad Farkhan berpendapat bahwa adanya keputusan sepihak dari dosen yang merugikan mahasiswa. Terutama bagi mereka yang tempat tinggalnya jauh dari kampus. “Dari dosen kan ada yang pengin–nya full luring atau full daring dan itu di hari yang sama dengan matkul yang berbeda, itu kebijakannya beda beda. Itu kan nanti yang bingung dari mahasiwa kan. Apalagi dosennya mereka itu nggak mau tahu loh matkul lain ada yang daring apa yang luring. Dosennya tuh nggak mau tahu, maunya kalo aku (dosen) luring ya luring daring ya daring. Kalo aku dari rumah yang lumayan jauh dari UNY itu bener-bener bikin ini sih, nggak nyaman.”
Berkaitan dengan model perkuliahan yang sering dikeluhkan, Calvin berpendapat bahwa sebagai mahasiswa yang memiliki hak untuk bernegosiasi, dapat mendiskusikan titik tengah yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Sehingga keputusan yang dihasilkan bukan sepihak melainkan dari hasil musyawarah.
Hal serupa dituturkan oleh Molly Aevrille Santana, mahasiswi Kebijakan Pendidikan asal Binjai, “Ketika keputusannya merupakan kesepakatan antara mahasiswa dengan dosen walaupun sebenernya dalam surat edaran yang diterima hybrid dengan NIM ganjil genap tapi menurut saya tidak masalah ketika sudah ada kesepakatan dengan dosen dan mahasiswa.”
Ketika diwawancarai Tim Redaksi Cermin Rakyat, Amrih Setyo Raharjo S.Pd.,MPA selaku dosen dari Program Studi Kebijakan Pendidikan menyatakan bahwa hybrid digunakan oleh dosen sebagai sebuah opsi. “Saat hybrid kita sudah mengenal full daring jadi sebenarnya kita punya opsi yang banyak saat misalnya hujan deras, lalu teman-teman (mahasiswa) bisa menyarankan untuk bagaimana kalau online saja. Jadi secara fleksibilitas mengajar, kita dapat opsi yang lebih banyak,” ungkapnya.
Lain halnya dengan pendapat Farkhan, adanya hybrid ini justru membuat proses penerimaan materi menjadi kurang maksimal. Baginya, meski pembelajaran daring digadang-gadang membuat keefektifan dan keefesienan waktu dalam pembelajaran, penerimaan materi akan lebih nyaman dan maksimal jika tidak dilakukan secara luring.
Menurut Molly, sistem ini (hybrid) dapat memberikan kesempatan kepada mahasiswa dengan cara belajar audio visual untuk memiliki pengalaman pembelajaran yang lebih cocok. Pendapat lain datang dari Calvin, menurutnya kebijakan hybrid bisa dikatakan masih memiliki kekurangan. Kondisi tersebut berkaitan dengan aksesibilitas terhadap kemampuan media yang belum sepenuhnya optimal. Penyampaian materi dirasa belum benar-benar efektif. Materi perkuliahan memang sampai kepada mahasiswa dan dapat diikuti, hanya saja tidak sepenuhnya dimengerti.
Bagi Amrih, hybrid memang memiliki tantangan pengoordinasian dua dunia. Dua dunia tersebut yaitu nyata (luring) dan maya (daring). Berkaca dari pengalamannya, pengoordinasian tersebut cukup sulit dilakukan karena ketika berada di dalam kelas dosen juga perlu memberikan materi bagi mahasiswa daring. Terlebih beberapa fakultas belum memiliki fasilitas yang memadai untuk menunjang pembelajaran yang efektif. Pun diakuinya bahwa kesenjangan mahasiswa dalam menerima materi pembelajaran memang terjadi.
“Karena kita kan luring ada audience, responnya cepat, kadang kita agak sedikit melupakan yang daring karena itu tidak tampil di layar dan kadang cenderung pasif. Ada kecenderungan untuk feedback atau ngobrolnya lebih enak yang luring jadinya yang online sepertinya sedikit pasif atau interaksinya lebih dominan yang luring. Saya rasa, karena kita adaptasi lagi, jadi bagaimana menyeimbangkan dua dunia ini kadang masih belum imbang. Masih dominan ke yang luring karena lebih enak ngobrolnya sementara yang daring partisipannya pasif, off kamera, intensitas komunikasinya jadi kurang,” tutur Amrih, memberikan penjelasan.
Dari pandangan mahasiswa, Molly mengatakan, “Ketika materi disampaikan secara hybrid sebenarnya menurut saya kurang se-efektif ketika pembelajaran secara full luring atau full daring, dosen dan mahasiswa itu terpecah fokusnya karena ada dua media berbeda yang digunakan dalam waktu yang sama.” Dia menambahkan, “Kendala kayak teman-teman yang dari rumah tuh yang daring terkendala jaringan misalnya atau mungkin ketika di kelas menggunakan mikrofon sebagai sumber suara dan terkadang mikrofonnya tuh ga jernih.” Sebagai pungkasan, Molly berpendapat bahwa suara dosen atau mahasiswa yang luring jauh dari mikrofon sehingga terkendala dalam segi audio. Fokus baik mahasiswa maupun dosen pengampu pun terpecah, baginya kelas tidak akan sehidup ketika dilakukan 100% daring atau 100% luring.
Namun menurut Calvin, mahasiswa yang sebelumnya menempuh program D3 Bahasa Inggris di Universitas Airlangga (UNAIR) itu, UNY juga perlu menambah kecepatan atau perluasan jaringan dengan harapan aksesibilitas menjadi lebih mudah, mengingat banyaknya jumlah mahasiswa serta dosen yang memerlukan jaringan Wi-Fi untuk menunjang proses perkuliahan. Menambah jumlah komputer di fakultas untuk mahasiswa yang perlu mengerjakan tugas maupun kuliah daring secara darurat juga dirasa dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan efektifitas.
Adapun berkaitan dengan pergantian media pembelajaran maupun jam kuliah yang sering dikeluhkan, Calvin berpendapat bahwa sebagai mahasiswa yang memiliki hak untuk bernegosiasi, dapat mendiskusikan titik tengah yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pendapatnya ini juga selaras dengan apa yang dikatakan oleh Amrih, “Saya pernah juga sudah janjian luring tetapi ternyata mahasiswanya pada tidak datang. Mahasiswa sering kali menyepelekan atau menggampangkan karena sudah tahu ada teknologi daring ini jadi, “Ya udahlah, aku ikut yang daring aja,” ada tendensi seperti itu. Menurut saya, kuncinya adalah bagaimana kesepakatannya tapi jangan mendadak karena kasihan juga mahasiswa sudah jauh-jauh tiba-tiba daring.”
Dengan adanya model atau sistem perkuliahan secara hybrid yang tengah diterapkan oleh UNY, saran, pendapat, serta kritik terus bermunculan sebagai bentuk harapan agar menjadi lebih baik. Menurut Amrih, untuk kedepannya, jangan sampai ilmu dan kebiasaan yang sudah di bangun dengan daring itu hilang karena sebagai sebuah siluet masa depan. Alih-alih menghilangkan, akan lebih baik untuk memaksimalkan yang daring melalui desain pembelajaran bauran bukan luring yang di daringkan ataupun sebaliknya. “Kalau melihat beberapa riset, salah satu PR dari pembelajaran daring itu meng-online-kan yang offline jadi jatuhnya tugas dan seterusnya. Interaksinya seharusnya dijaga dengan baik,” katanya, menambahkan informasi.
Adapun dengan banyaknya komentar dan kritik yang bergulir, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian lain justru mendukung serta mengapresiasi kebijakan UNY tersebut. “Menurut saya perkuliahan hybrid di UNY sudah cukup efektif karena sebenarnya bisa membantu mahasiswa dan dosen untuk menyesuaikan keadaan perkuliahan. Semisal ada yang berhalangan, maka perkuliahan bisa dilaksanakan secara online,” ungkap Molly ketika ditanya perihal keefektifan perkuliahan di UNY. Apresiasi serupa juga datang dari Calvin. “Aku si suka dengan UNY dan sistemnya. Perkuliahan e enak, cuma akses jaringan aja yang butuh perbaikan. Di luar itu, Siakad sampai BeSMART-nya memadai,” pungkas Calvin kepada Cermin Rakyat.
Penulis : Antonia Nesa
Reporter : Nur Fadlilah Amalia, Antonia Nesa
Editor : Nur Fadlilah Amalia