Sudah hampir empat bulan berlalu semenjak tahun ajaran 2022/2023 dimulai, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang merupakan salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama di Yogyakarta masih melaksanakan kuliah dengan sistem hybrid. Padahal PTN lain bisa melakukan kuliah secara luring, bahkan sejak masa orientasi pengenalan kampus. Sistem hybrid pada awalnya ditujukan untuk menunjang proses perkuliahan pada masa pandemi Covid-19 agar membatasi interaksi antar mahasiswa, sehingga penyebaran virus tidak semakin meluas. Sistem hybrid diharapkan dapat menjadi solusi sementara dalam menghadapi pandemi yang tak tentu kapan akan berakhir.
Namun, meski pandemi telah berlalu dan kasus Covid-19 sudah menurun, sistem hybrid masih digunakan untuk melaksanakan perkuliahan. Sehingga, muncul pertanyaan untuk apa sistem ini masih diberlakukan? Selain itu juga para mahasiswa merasa kuliah dengan sistem hybrid tidak lagi efektif untuk digunakan.
Bagi mahasiswa yang online mereka sulit memahami materi yang diberikan oleh dosen, sebab fokus dosen terpecah antara mahasiswa yang berada di ruang kelas dengan yang ada dalam zoom. Belum lagi jika ada masalah teknis seperti jaringan yang sering kali mengganggu, ketersediaan perangkat tidak memadai untuk melakukan kuliah jarak jauh, atau dosen yang kurang menguasai teknologi menjadi faktor penyebab terhambatnya kuliah.
Pada awal tahun ajaran 2022/2023, beredar surat edaran resmi dari beberapa fakultas, diantaranya Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) dan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), yang menyatakan bahwa kuliah dilaksanakan hybrid dengan syarat 50% di kelas dan 50% di domisili. Pada minggu ganjil, mahasiswa dengan NIM ganjil masuk secara luring dan NIM genap tetap daring. Sebaliknya pada minggu genap, mahasiswa dengan NIM genap masuk secara luring dan NIM ganjil daring. Akan tetapi pada kenyataannya tidak sesuai dengan syarat yang ada di dalam surat edaran tersebut. Para dosen melaksanakan perkuliahan sesuka mereka, hal ini menyebabkan kebingungan bagi mahasiswa. Akhirnya muncullah isu diantara mahasiswa mengenai sistem hybrid ini.
Terdapat beberapa isu yang berkembang diantara mahasiswa, mereka merasa bahwa sistem hybrid hanyalah alibi untuk menutupi kondisi ruang kelas yang tidak mencukupi dilaksanakannya perkuliahan secara luring. Salah satu contohnya ada di FBS, terdapat ruang kelas yang memiliki jumlah kursi dan meja terbatas, hal ini berbanding terbalik dengan jumlah mahasiswa yang rata-rata per kelas berisi 40 hingga 50 orang. Sehingga ketika dilakukan perkuliahan, beberapa mahasiswa terpaksa duduk lesehan di depan kelas demi berlangsungnya kegiatan perkuliahan. Disamping itu sarana dan prasarana yang kurang memadai seperti, AC yang sering mati, tidak adanya proyektor di beberapa ruang kelas, dan speaker yang tidak berfungsi, menjadi ironi bagi UNY, yang notabene merupakan salah satu PTN ternama di Yogyakarta.
Ada pula yang berpendapat bahwa perkuliahan hybrid berkaitan dengan kebijakan dari UNY yang mewajibkan dosen untuk melanjutkan studi ke jenjang S3. Hal ini menyebabkan dosen tidak bisa mengatur waktu antara mengajar dengan menyelesaikan studinya sebagai mahasiswa S3. Akhirnya para dosen mencari jalan pintas agar studinya dapat terselesaikan, dan kewajiban untuk mengajar bisa dilakukan secara bersamaan dengan memanfaatkan sistem hybrid yang telah ada. Bahkan sistem hybrid ini kadang tidak terlaksana dengan baik, beberapa dosen lebih memilih perkuliahan full online, yang mana interaksi antara dosen dan mahasiswa sangat minim.
Parahnya, dosen sama sekali tidak mengadakan kuliah dan hanya memberikan penugasan mandiri kepada para mahasiswanya. Pada akhirnya kita sebagai mahasiswa mempertanyakan kebijakan dari UNY dan tanggung jawab para dosen sebagai pengajar, tentang bagaimana agar perkuliahan ini bisa terlaksana sebagaimana mestinya.
Penulis : Ilham Fahmi
Editor : Nur Fadlilah Amalia